Aruna
![]() |
| Cafe favorit kita, dulu. |
Aruna melayangkan pandangnya ke arah jalanan yang terus-menerus di guyur oleh hujan. Sudah sekitar dua jam dirinya terperangkap dengan aroma kopi, sedikit menusuk, Namun membuatnya sedikit lega. Rupanya, indera penciumannya tidak sepenuhnya membenci aroma kopi di kafe ini. Namun, separuh lainnya menolak mentah-mentah pernyataan barusan.
Secangkir espresso double shot sudah sejak tadi meracaukan pikirannya, kenangan beberapa tahun lalu tiba-tiba saja membuat cita rasa espresso di depannya ini semakin terasa pahit. Suara pintu cafe berdecit, menandakan seseorang masuk. Aruna kembali fokus pada kopinya, tanpa tahu seseorang tengah berdiri di hadapannya.
“Aruna?”
DEG.
Suara bariton itu, ritme nafas yang terdengar jelas di telinganya membuat dirinya takut sekaligus penasaran.
“Ya?” Mulutnya setengah menganga ketika sepenuhnya melihat sosok itu dengan jelas— teramat jelas malah.
“Masih sering kemari?”
Aruna masih menatap sosok laki-laki di hadapannya ini dengan perasaan campur aduk.
“Kadang-kadang, kalau lagi suntuk sama tugas kuliah” Aruna kemudian menatapnya, “Kamu? Gimana?”
“Mengenang.”
Samar-samar namun ragu. Aruna hanya tersenyum tipis. Ada banyak hal yang sebenarnya ingin ia utarakan. Banyak sekali. Namun, berarti harus membuka kembali luka yang saat ini sudah hampir mengering.
“Apa kabar, Run?”
“Baik. Setidaknya beberapa menit sebelumnya” seakan mengerti akan ucapannya yang terdengar begitu dingin, lelaki di depannya mengangguk pelan, “Kabarku tidak menyenangkan akhir-akhir ini.”
“Ada yang perlu aku dengarkan, mungkin?”
“Banyak. Dua cangkir kopi, mungkin takkan cukup.”
“Mungkin dua sampai tiga cangkir masih bisa?” Lelaki didepannya ini menggeleng pelan dan tersenyum tipis padanya.
“Nggak baik buat lambung kamu. Mau pingsan kayak dulu lagi?”
Kayak dulu lagi.
Kalimat terakhir barusan terus berputar-putar memenuhi pikirannya. Rupanya, lelaki ini masih mengingatnya. Setidaknya, segelintir tentang dirinya masih tersisa.
“Anggap kamu nggak pernah tau”
“Dan aku dengan tega biarin kamu tergeletak gitu aja? Terus mama kamu dengan his—“
“Albara”
“Maaf”
“Kita udah terlalu jauh, Bar.” Aruna menatapnya sejenak. “jangan kembali cuma buat aku ‘melukai’ diri aku sendiri.”
Aruna menyesap espressonya, sudah sangat dingin dan terasa lebih pahit daripada sebelumnya. Pahit. Menusuk kerongkongannya.
“Kita nggak benar-benar asing, Run.”
“Tapi butuh waktu, bukan?” Mereka berdua sama-sama bergeming di tempat masing-masing. Pikiran mereka saling beradu dengan sesuatu yang disebut dengan realita.
“Ada yang bisa aku dengarkan, Bar?”
“Ibu, pada akhirnya, mengunjungi rumah keduanya minggu lalu.” Aruna terpaku, wajah laki-laki didepannya tak berubah jadi muram barang sedikitpun, mungkin sudah terlalu lama berduka. Aruna…ingin sekali memeluk lelaki itu, berbagi sedikit perihnya. Namun, ia hanya bisa menjulurkan tangannya—menggenggam erat tangan lelaki itu— tangan yang dulu selalu mengait erat di jari-jari tangannya.
“Yang kuat, ya”
“Aku baik-baik aja. Run,” lelaki itu menatapnya kemudian, “ Toh sebelumnya sudah pernah kehilangan seseorang, jauh sebelum Ibu pergi.”
“Siapa?”
Bara menatap mata hazel Aruna lekat-lekat. Ada sesuatu yang tak dapat ia temukan di dalam sana. Kehilangan seseorang yang dicinta, rupanya meredupkan keteduhan di mata lelaki itu.
“Kehilangan kamu.”
Tentang siapa yang pernah datang dan pergi, tentang bagaimana kenangan-kenangan itu menghantui di tahun-tahun berikutnya, tentang cara melupakan yang terdengar seperti omong kosong.
Dan tentang Bara.
Lelaki yang merangkak perlahan memasuki ruang hampa miliknya.



Komentar
Posting Komentar