Hai, cinta pertama!

Bandung.

Saya pernah menyukai seseorang. Pernah berharap bertemu dengannya langsung, pernah ingin mengiriminya tulisan-tulisan saya tentangnya, tapi kemudian saya urungkan. Ragu jadi kata pengakhir yang tepat ketika semua hal menjadi amat mustahil.
Saya pernah menyukai seseorang. Menghadirkannya dalam setiap lembar di buku saya, mengenalkannya pada seisi otak dan hati bahwa ada dia yang membuat saya menuliskan beramplop-amplop surat yang isinya hanya perasaan-perasaan tak bertuan ini.
Jika diingat-ingat saya memang tidak benar-benar bertatap muka barang sekali. Lucu, ya? tapi ternyata bisa se-jatuh cinta ini.
Saya tidak pernah menyesal semesta pernah memberikan perasaan ini pada saya. Mencintai diam-diam menjadi tunggung jawab terbesar yang saya miliki. Mungkin memang benar, saya dan dia tidak benar-benar diciptakan untuk berbagi ruang yang sama. Walau masih menatap langit, dan berpijak di bumi yang sama,
Semesta tidak pernah mengizinkan.
Tak apa. Saya tidak pernah ingin memiliki. tidak ingin meng-upgrade perasaan saya ke tahap lebih tinggi, takut nanti ego saya yang semakin besar. biarkan Seperti ini, sampai memang benar-benar tidak ada cukup ruang untuk menampung semua tentangnya.
biarkan sebagaimana adanya. biarkan perasaan ini memilih sendiri jalan yang diinginkan. Ingin terus tumbuh, atau mati begitu saja.

Biarkan waktu yang ambil alih.

Setidaknya, terimaksih sudah ada di bumi ini dan menjadi perantara jatuh cinta saya yang pertama. terimakasih, karena dia saya tahu bagaimana caranya berjuang sendirian, sekaligus mengemban tanggung jawab besar ini; mencintai diam-diam.

teruntuk kamu--di belahan bumi manapun,
Terimakasih!

Komentar

Postingan Populer