Tentang Hidup #2
"Ingat, ya. Bumi itu berputar. Ia tak melulu berporoskanmu..."
Manusia itu mau bersyukur kalau sudah dihadapkan dengan 'sesuatu' terlebih dahulu. Baru merasa. Nggak bisa ujug-ujug disuruh bersyukur, ya maklum aja manusia suka luput sama sekitar. Jadi yang diperhatikan ya...lagi-lagi cuma tentang dirinya sendiri. Sesuatu yang saya maksut barusan itu, bisa dengan mendengar cerita hidup orang lain, ketemu orang dengan kondisi fisik yang tidak bisa sesempurna milik kita, atau kekurangan-kekurangan lainnya.
Baru deh sadar, baru deh bisa bersyukur. Iya, nggak sih?
.
Tepat selepas mata kuliah kedua tadi siang, seorang teman menghampiri saya. Saya tahu ia ingin sekali melontarkan perihal keinginannya untuk bisa berlibur ke Jakarta tahun baru nanti. Semua hal ia utarakan, dengan nada yang masih sama persis ketika awal saya berteman dengannya di semester satu. Satu per satu kalimatnya saya cerna, ada yang bisa saya pilih untuk kemudian saya simpan sendiri, dan akhirnya semua percakapan itu bermuara tentang; 'hidup seperti apa sih yang sebenarnya ingin dijalani'.
Dulu saya selalu mengira hidup saya itu yang paling nggak ada apa-apanya, hambar. Kalau ingin apa-apa orangtua selalu bilang nanti. Sekarang sih sudah lebih lumayan, bisa pakai uang tabungan. Coba Kalau dulu, yang ada saya dibiarin nangis guling-guling sampai suara abis. Saya pernah mengira bahwa orangtua saya tidak pernah adil. Terlalu protektif, apalagi sosok Ayah. Terlalu khawatiran dari zaman saya SD, SMP, SMA sampai kuliah semester awal, saya nggak pernah dibiarkan untuk pergi kemanapun, bahkan untuk bertemu sahabat saya di Surabaya.
Saya pernah dengan enaknya membayangkan punya sosok orangtua yang bisa mengerti keinginan anaknya setiap saat. Orangtua yang bisa membelikan apapun yang saya inginkan. Dan segala bentuk Orangtua Materialistik menurut saya.
Hingga tiba di satu segmen cerita yang hampir membuat mata saya berkaca-kaca; Ia justru menginginkan dan mengharapkan bisa memiliki keluarga yang selayaknya bisa melindungi, menjaga, dan memberikan kasih sayang untuknya. Ditinggal oleh sosok ibu yang ia cintai, membuatnya harus bertahan dan menjaga mati-matian sosok yang masih tersisa; seorang Bapak, dan Adik kecilnya. Namun sayangnya, dan lagi-lagi keduanya meninggalkan dirinya begitu saja, bukan hilang secara raga, tapi hilang secara rasa.
Tinggal berjauhan dengan sosok Bapak dan adik kecilnya, membuat teman saya ini harus memulai hidup di rumah keluarga lainnya yang masih tersisa. Agar bisa tetap hidup. Melanjutkan hidup yang lebih layak, mencari sisa-sisa kasih sayang yang tidak bisa ia temukan di sosok itu.
Mendengarnya bercerita, seperti tidak ada nada sedih di dalamnya. Rupanya, hidup sudah menempanya sedemikian keras, hingga tidak ada lagi tempat untuknya meletakkan kesedihan.
Berkali-kali saya mengucap syukur dalam hati. Ternyata sedekat ini, ada sosok kecil teman saya yang harus menanggung semuanya sendirian, entah sampai kapan.
"Aku nggak pernah nyangka loh kalau hidupku bakalan kayak yang di sinetron-sinetron itu. Lucu kalau dibayangin, Din."
Saya terdiam. masih mendengarkan ia bercerita walaupun samar-samar. Memeluknya adalah hal yang paling ingin saya lakukan, tapi saya urungkan. Saya takut jika rasa iba yang saya miliki justru akan membuatnya rapuh lagi.
"Dijalanin aja, ya? Biarin waktu yang nyembuhin semuanya. Semoga di waktu yang tepat nanti, Bapak kamu balik lagi ke kamu."
Banyak sekali sebenarnya yang ingin saya tulis. Setumpuk pelajaran bisa saya bawa pulang untuk dijadikan bekal hidup di kemudian hari. Supaya makin menyukuri apapun, siapapun yang sudah dihadirkan Tuhan buat saya. Semoga tidak ada celah kecil lagi untuk saya merengek-merengek dan mengata-ngatai hidup yang saya jalan ini tidak adil. Semoga.
Untuk teman-teman diluar sana,
Ingat, Bumi itu berputar. Jangan pernah merasa yang paling menyedihkan, diluar sana--atau bahkan di dekat kalian, ada yang merasa lebih daripada apa yang kalian sendiri alami.
Daaann sampai ketemu lagi di Tentang Kehidupan berikutnya!



Komentar
Posting Komentar