Samudera #1


    
    Jakarta lagi-lagi jadi lautan sementara,
entah beneran sementara atau secepatnya jadi calon laut. Perkara hujan yang sejak tadi mengguyur dan sepertinya tidak ada tanda-tanda akan mereda dalam waktu dekat, membuat rencana tidur nyeyak di kasur kosan jadi list paling terakhir yang akan ia checklist. Sebuah kedai kopi dekat kantor jadi pilihan paling memungkinkan sebab, ia juga sudah lama tidak menyapa teman lama yang sekarang tengah asik dengan alat grinder biji kopi di depannya.
“Hai, Kal. Berapa abad nih kayaknya kita nggak ketemu?” Ledeknya masih sambil memperhatikan alat grinder kopi di depannya.
“Sampe rambutmu gondrong begitu…lama banget berarti. Tiga bulan?” Kalia menerka-nerka sambil melihat-lihat menu kopi yang tertulis. 
“Nggak, Kal. Lebih. Hampir lima bulan.” Kalia mengernyitkan dahinya, “Masa iya?” Laki-laki berambut gondrong bernama Samudera itu hanya geleng-geleng kepala. Tangannya sejak tadi sibuk meracik kopi, bahkan tidak berkenan bertanya kopi apa yang hendak Kalia pesan untuk menemaninya menunggu hujan yang tidak ada berhentinya ini.
Tiba-tiba segelas Americano dingin sudah ada di hadapannya, “Nggak usah sok-sokan ngeliat menu, ujung-ujungnya pasti yang dipesan juga Americano. Di tempat biasa kamu duduk lagi nggak ada orang, kamu kesana aja, Kal. Ntar aku samperin.” Kalia lagi-lagi hanya bisa mengernyitkan dahinya. Antara bingung dan kesal. Bingung karena sejak tadi pikirannya memang melayang kemana-mana, dan kesal karena barista gondrong itu memesankan Americano dingin, padahal ia sudah bertekad untuk sesekali melipir dari zona nyaman. 
“Kalau gitu sekalian bawain sandwich tuna, ya? Masih ada tuh. Laper banget soalnya.” Samudera hanya mengangguk paham dan kemudian melanjutkan pekerjaannya membuat kopi, sebab, semakin deras hujan di luar, pekerjaannya akan bertambah dua kali lipat atau bahkan lebih. 
Kalia kenal Samudera atau singkatnya Sam sejak bertahun-tahun lalu. Ia bahkan masih ingat betul penampakan Sam lima tahun lalu saat dirinya masih kurus kering dengan sepatu convers belelnya yang sampai sekarang ia tak tahu apa warna asli sepatunya itu. Yang Kalia lebih ingat lagi tentang Sam adalah percakapan singkat mereka di Warkop Pak Rum, di sela-sela rokok ketiganya, laki-laki itu melayangkan sebuah pertanyaan singkat dan sederhana, walaupun begitu Kalia tetap tidak bisa menjawabnya. Ia seketika bisu di hadapan dirinya sendiri. Sam malam itu, lima tahun yang lalu, sempurna membuatnya menjelajahi museum masa lalu. Menjadi pisau yang sewaktu-waktu akan merobek habis luka masa kecilnya. Kalia tidak pernah berani. Malam itu, bertahun-tahun lalu, Sam membuatnya tampak sederhana,
“Takut nggak akan buat kita bergerak kemana-mana, Kal. Cuma jadi penjara buat diri sendiri. Takut itu pasti, tapi berani ambil langkah adalah satu-satunya hal yang bisa bunuh rasa takut.”
Di momen itu, saat pikirannya teringat Sam yang kurus kering dengan celotehan singkatnya lima tahun lalu, ia diam-diam memandangi sosok Sam di masa sekarang yang ternyata sudah lebih baik. Entah seperti apa lima bulan yang lalu saat rambut Sam belum benar-benar se-gondrong sekarang, atau tiba-tiba muncul kumis tipis di wajahnya. Bagaimana ia bisa lupa mengunjungi Sam yang padahal jarak dari kedai kopi ini dan kantornya tidak sejauh itu?
Kalia menghidu kopi di depannya pelan-pelan, ada kekosongan yang tiba-tiba merayap dalam hatinya. Tapi apapun itu, ia masih tidak tahu. Sejak dulu hingga sekarang, pelajaran tentang dirinya sendiri masih belum tamat, bahkan tidak ada tanda-tanda akan berakhir. Kalia sesekali melihat Sam dari kejauhan, bahkan Sam tahu apa yang Kalia inginkan. Sam selalu tahu tanpa Kalia harus menjelaskan panjang lebar. Tapi Sam pula yang membuatnya harus mampir ke pelabuhan satu dan pelabuhan lainnya. 
“Sesekali kamu perlu jalan sama diri kamu sendiri, nikmatin hal-hal yang justru buat kamu marah, sedih, atau bahkan kecewa. Karena sudah terlalu lama kamu manjain, kamu jadi nggak kenal sama diri kamu sendiri.”
“Harus begitu, Sam?”
Sam menatap mata Kalia sendu, 
“Ya, harus begitu.” 
Satu jam berlalu, Kalia melihat Sam berjalan ke arahnya, membawa sepiring sandwich dan secangkir minuman untuknya sendiri.
“Tugas kantor, Kal?” Kalia menggeleng pelan, lalu menatap Sam singkat.
“Cukup 10 jam aku ngurusin kerjaan kantor ya, Sam,” Kalia mengambil piring yang berisi sandwich tuna ke hadapannya, “Aku lagi nulis…hmm…semacam puisi?”
Sam meliriknya heran, “Sejak kapan anak kaku kayak kamu buat puisi. Coba mana lihat.” Kalia seketika langsung menutup laptopnya, mendadak pipinya merah karena harus kalah telak dengan Sam yang diam-diam lebih jago buat puisi. 
“Aku masih jauh di bawah kamu, Sam. Aku yakin pasti ada banyak sobekan kertas isinya puisi-puisi di saku celanamu, kan?” Sam seketika meraba saku celananya pelan, ternyata memang iya. Entah ada berapa sobekan kertas di sakunya.
“Aku mau dong, satu aja, yang menurutmu paling abstrak, yang aku nggak tau artinya apa.” Sam menyesap kopinya pelan.
“Supaya?”
“Supaya aku belajar cari tahu apa isi kepalamu. Rasa-rasanya aku cuma jadi pengikutmu aja, Sam. Penonton. Aku bahkan nggak tahu apa-apa tentang kamu. Kecuali convers belel kesayanganmu yang ternyata masih kamu pakai sampe sekarang.”
Sam hampir tersedak, raut wajahya tak pernah serius. “Sebelum kamu tahu isi kepalaku, cari tahu dulu jawaban dari pertanyaanku lima tahun lalu, itu. Masih ingat kan?” Kalia bimbang. Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Sam sialan, batinnya. Tapi seperti yang sudah kalian tahu, hingga saat ini, lima tahun setelahnya, Kalia belum bisa menemukan jawabannya. 
Takut.
Satu-satunya hal yang membuatnya gentar adalah, rasa takut. Trauma masa lalu yang tidak bisa Kalia ceritakan pada siapapun. Kenangan gelap yang harus Kalia tanggung dan bawa hingga ke masa sekarang. Sam tidak tahu, atau mungkin indera keenam laki-laki itu sudah mengetahuinya sejak lama. Tapi bukan Sam namanya jika tidak membuatnya harus menyambangi semua pelabuhan, atau dermaga, atau tempat-tempat yang dijadikan pulang dan perginya sesuatu, atau seseorang. Kalia mau menyerah saja, bertahun-tahun ia harus cari apapun atau siapapun untuk dijadikan tempat bersandar jiwanya yang rapuh. 
“Gimana?”
Kalia menatap Sam dengan tatapan nanar, “Berarti selamanya aku nggak bakal bisa tahu kamu, Sam.”
Sam merasakan nada parau pada lawan bicaranya. Matanya hanya sanggup memandangi ke bawah meja, menatap sepasang kaki dengan convers belel miliknya. Sejak dulu, satu-satunya hal yang membuatnya terluka adalah tatapan nanar milik Kalia, yang sebenarnya indah, yang sebenarnya jauh lebih berbinar ketika ia mengajaknya menaiki bianglala murah meriah, yang sebenarnya jauh lebih cantik ketika tak sengaja Perempuan itu menemukan buku-buku lama dengan bau yang menurutnya tak enak. Sepasang mata itu, sejak bertahun-tahun lalu, jadi satu-satunya hal yang tidak bisa ia mengerti. 
“Kal—”
“Sam, kamu sadar nggak sih, sebenarnya, kita berdua ada di pelabuhan yang berbeda? Kamu sudah tiba di pelabuhan baru, sedang aku masih harus menempuh jarak panjang dan suatu saat bisa terapung-apung di tengah lautan, di tengah-tengah Samudera yang lain.” Kalia menatap kosong ke dalam gelasnya yang sudah tandas sejak tadi. Sudah tidak ada lagi yang bisa ia tenggak. Sudah seharusnya ia pulang karena hujan sudah lebih bersahabat untuk diterabas. Kalia berdeham pelan, menyadarkan Sam yang entah mungkin merasa bersalah sebab telah membuatnya melantur hingga membawa-bawa kiasan Samudera yang lain, yang entah apa artinya itu. 
“Pulang, ya, Kal?” Sam sudah lebih sadar, garis-garis wajahnya tak sesuram tadi. Walaupun Kalia ingin sekali menggodanya, tapi ia enggan. Sam ikut berdiri, mengantarnya sampai ke pintu depan kedai kopi tersebut.
“Lima bulan kedepan, apalagi yang akan berubah, ya?” Kalia tersenyum,  matanya menyusuri wajah Sam, setidaknya, di akhir pertemuan hari ini ia ingin membuat laki-laki gondrong di hapannya itu lebih baik. 
“Selain rupa, ada sesuatu di dalam sana yang harusnya sudah harus berubah, Kal. Apapun itu, cuma kamu yang tahu.” Sam tersenyum tipis, mengantarkan Kalia pulang setidaknya dengan perasaan lebih lega dari sebelumnya. Walau banyak yang rumpang, dan tersisa penggal-penggal saja, Kalia mengerti apa maksud perkataan Sam, bahwa dirinya masih belum bisa beranjak dari rasa takut, atau sudah seharusnya berdamai dengannya. Sekali lagi, Sam tahu apa yang Kalia sembunyikan, walau tak sepenuhnya sempurna benar, lima bulan setelah ini, ia tak mau hanya Samudera saja yang berubah, tapi dirinya juga. Sudah seharusnya keduanya jadi pemegang kompas di kehidupan masing-masing, bukan dirinya yang betah belama-lama menjadi penonton kehidupan milik Sam. Samudera Wiara. 

Komentar

Postingan Populer