Samudera #2


 “Kal, kalau seseorang mau sembuh itu, semuanya harus dikorbankan benar. Seluruhnya. Kalau salah satu aja, percuma. Kita hidup bukan hanya untuk menyembuhkan orang lain, tapi kita sendiri.” Kata Sam sambil menunjuk ke arah dirinya. Kalia tak mengerti benar apa maksud Sam, sebab laki-laki itu suka asal bicara.
Hari ini Kalia harus bertolak ke Bandung. Ada beberapa hal yang harus ia selesaikan, mengurusi surat-surat tanah yang sempat ia tunda beberapa tahun terakhir sebab, selain perkara kerjaan di Jakarta yang tidak bisa ia tinggalkan, pergi ke kota itu artinya Kalia harus siap lahir batin. Apapun yang akan mengoyaknya nanti, Kalia tidak boleh menyesal, atau bahkan mundur. Lagi-lagi sosok Sam muncul, membuatnya tak mau kalah lagi seperti waktu itu.
“—takut nggak akan buat kita pergi ke mana-mana, Kal.”
Kalia ingin ada di pelabuhan yang sama, di dermaga yang sama. Ia tidak mau terapung-apung di laut tak bernama, atau di Samudera yang lain. Satu-satunya cara untuk sampai ke sana cuma melangkah. Keluar dari belenggu yang sejak dulu menahannya sehingga ia tidak bisa ke mana-mana. Ia ingin bebas dari riuhnya isi kepalanya yang tak pernah reda sejak bertahun-tahun lalu. Ia ingin tahu seperti apa rasanya bebas sebelum ajal menjemputnya. Hampir dua puluh empat tahun ia hadir di Bumi, Kalia ingin tahu rasanya tidur tanpa mimpi buruk setiap malam. Sekali saja. 
Suasana rumah masa kecilnya di Bandung tidak banyak yang berubah, hanya tanaman di pekarangannya saja yang sudah lebih sedikit ketimbang yang pernah diingatnya. Beberapa cat sudah mulai pudar sana-sini, dimakan usia. Kalia menghirup pelan-pelan apapun yang bisa membawanya mengunjungi museum masa kecilnya bertahun-tahun lalu. Walau sesak menyerangnya secara gamblang, ada desir hangat yang juga ikut memeluknya dan membuatnya ingin kembali ke masa lalu. Masa di mana sepasang laki-laki dan perempuan itu masih berada di bawah atap yang sama, di meja makan bundar yang sama, dan mengerat jari jemari yang sama. Hingga pada suatu hari dirinya menyadari bahwa rumah tampak lengang dan mati. 
Kalia tak melihat lagi adanya sepasang yang saling mencintai, yang saling meminjam peluk di antara bahagia maupun sedih. Tak lagi ia dengar gelak tawa yang biasanya memenuhi meja makan bundar. Di tahun-tahun setelahnya, dalam keadaan berduka atas batinnya yang tak pernah dipuaskan oleh jawaban-jawaban sepasang itu, Kalia berusaha mencernanya sendirian; tentang perpisahan yang ia kira hanya imaji namun rupanya harus ia hadapi di dunia nyata. Tentang kebungkaman sepasang itu yang membuatnya ingin menjerit. Tentang anak laki-laki seumurnya yang entah dari mana mengatakan bahwa kami berdua berada dalam kesengsaraan yang sama. Di titik itu, Kalia sudah tidak tahu bagaimana caranya berbicara, atau bernafas. Ia tak lagi merasakan sesuatu di dalam sana yang masih berdetak menyuruhnya hidup. Ia tak lagi bisa membedakan mana hidup mana mati, sebab, dirinya sudah mati berkali-kali sejak sepasang itu saling melepaskan. 
Pintu rumah tiba-tiba terbuka, kedatangan seseorang membuatnya harus kembali ke masa sekarang. Kalia sontak menoleh, memastikan siapa yang datang ke tempat ini sseakan tahu bahwa seseorang lain akan datang berkunjung. Sekujur tubuhnya mendadak kaku, ia tahu siapa yang datang, ia mengingat jelas siapa yang saat ini tengah berdiri di hadapannya. Ia tahu betul, sebab, separuh masa kecilnya ada pada sosok itu. 
Seorang lelaki, dengan garis wajah yang tak pernah berubah, mata cokelatnya yang dulu selalu Kalia irikan, serta potongan rambut yang lagi-lagi selalu sama. Kalia masih bergeming di tempatnya. Sebelumnya, tak pernah ia temui perasaan seperti ini dalam kamusnya. Laki-laki itu memilih maju beberapa langkah, lalu memeluk Kalia perlahan, dan setelahnya berubah menjadi erat. Kalia merasakan sebuncah amarah, tidak hanya ia tapi keduanya. Kalimat yang sejak dulu disimpannya rapat-rapat, kini rasanya ingin ia lontarkan lantang-lantang.
“Kangen, Kal. Aku kira kita nggak akan pernah ketemu lagi.” 
Suaranya masih sama, hanya terdengar lebih berat sebab berteman dengan usia. Rupanya di tahun-tahun kami beranjak dewasa, waktu tidak menyilakan laki-laki ini berubah sepenuhnya. Sebab, saat ini, masih ada sisa-sisa yang ia hapal di luar kepala. Mungkin waktu tidak tega membiarkannya melupakan laki-laki ini. Separuhnya yang hampir hilang.
Kalia melunak, ia membalas pelukan itu. Pelukan yang sudah lama tidak ia terima dari siapapun. Pelukan yang rasanya lebih mahal ketimbang barang-barang miliknya. Hal penting yang dibutuhkan setiap manusia untuk tumbuh tapi tidak bisa ia terima secara cuma-cuma. Tangan laki-laki itu kemudian mengusap kepalanya lembut. Kalia merasakan dadanya sesak yang perlahan semakin jahat menusuknya. Membuatnya kalap. Membuatnya lagi-lagi lupa caranya bernafas. Rupanya, matanya sudah basah sejak tadi. Sejak kalia menyadari bahwa tak sepenuhnya ia harus menyalahi dirinya sendiri, atau perceraian  sepasang itu, atau pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah terjawab dengan tuntas. Kalia memeluk tubuh itu erat. Seperti dulu.
“Ternyata kamu masih sama cengengnya, Kal.” Kalia kemudian melepaskan pelukan itu, “Kamu juga masih sama,” laki-laki itu mengernyitkan dahinya, “Apa, Kal?”
Kalia menghela nafas pelan, “Nugra dulu dan sekarang masih sama aja resenya. Jadi penasaran, beneran umur 24 apa enggak sih?” Laki-laki bernama Nugra itu justru menyunggingkan senyum, “Kalau nggak rese lagi, kamu bakalan lupa sama aku, Kal. Nggak apa-apa deh pertahanin yang satu itu.”
“Supaya?”
“Supaya masih ada yang tersisa dari masa lalu.”
Masa lalu. 
Mereka berdua terdiam. Membiarkan kalimat terakhir yang keluar dari mulut Nugra tersebar dan menyeruak ke seluruh sudut rumah. Tidak hanya bergema dalam kepalanya, tapi Kalia ingin, setidaknya, seisi rumah tahu, ikut merasakan betapa sakitnya masa lalu miliknya, dan juga Nugra. 
Nugra kemudian mendekat, memegang erat bahu Kalia yang mendadak butuh penopang, yang mendadak tak tahu caranya tegap kembali. 
“Aku hari ini menginap di sini, kamu nggak usah khawatir harus sendirian. Semua peralatan kamu udah aku siapin di kamar atas. Kamu bersih-bersih dulu habis itu kita makan, ya? Udah aku beliin makanan kesukaanmu.”
Kalia mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis. Setidaknya ia tidak benar-benar harus sendirian di rumah ini. Ia tidak harus mati hari ini. Kalia bersyukur bahwa Nugra benar-benar masih ada untuknya, untuk masa lalu milik mereka yang tidak pernah menemui titik. Untuk jiwa mereka yang tidak pernah benar-benar sembuh. Nugra sakit, begitupun dirinya. Dari sudut pandangnya, nampaknya, Nugra sudah berjalan beberapa langkah di depannya. Ia melihat bahwa laki-laki itu sudah lebih menerima. Kalia sudah seharusnya melakukan hal yang sama, sebab, ia rindu rasanya sembuh. 
*
Hal lain yang ia perhatikan selain tentang rumah ini adalah, bahwa kota ini juga tidak beranjak ke mana pun. Sama seperti dirinya, kota ini juga senang berteman dengan sepi, sebab sepi adalah salah satu pilihan yang paling baik, setidaknya sampai saat ini. Kota ini masih sama dinginnya. Sejak tadi Kalia hanya bermain-main dengan percikan air dari shower di kamar mandi miliknya, bahkan hampir menjelang sore pun, air masih saja terasa dingin, atau mungkin ia sudah terlalu dimanja oleh Ibukota, sehingga ia lupa rasanya berani mengguyurkan diri di bawah dinginnya air kota ini. 
Tak sampai sejam, Kalia sudah merampungkan urusan bersih-bersih diri, dengan hampir setengah jam mengumpulkan keberanian untuk mandi air dingin. Kalia akhirnya turun, dan langsung menemui Nugra yang sudah rapih menunggu di meja makan bundar. Meja bundar yang merekam banyak hal, yang menampung banyak emosi pemilik lamanya, meja bundar yang sudah jadi penghuni tetap di rumah ini sebab apapun dan siapapun akan menjadikan meja bundar ini sebagai pelarian; menangis karena tak diberi izin untuk bermain di luar lepas tengah hari, atau memukulinya karena kesal yang berkepanjangan dan membuat sesak. Meja makan bundar itu, jadi tempat kesukaan Kalia di rumah, paling tidak ia bisa mengenang satu dua hal hanya dengan duduk dan merebahkan kepalanya sejenak. 
Nugra membuka kantong berisi makanan, kemudian menaruhnya di depan Kalia, “Pakai ati ampela, pedesnya biasa, dan dua tetes kecap manis, bener?” Aroma nasi goreng kesukaannya menyeruak begitu Nugra membukanya. Padahal hanya nasi goreng, baik Kalia ataupun Nugra juga bisa membuatnya sendiri. Dulu, Perempuan itu selalu melarangnya memesan nasi goreng ini, menurutnya makanan ini terlalu gampang, lantas menyuruh pembantu rumah untuk membuatkannya. Tapi rasanya tidak pernah sama. Perempuan itu tidak tahu bahwa ini bukan hanya sekadar makanan, nasi goreng pula. Makanan sederhana ini jadi penyambung ingatan dirinya dengan sosok laki-laki yang ia temui diam-diam setelah pulang les tambahan. Laki-laki yang setelah beberapa bulan setelah ketidakberadaan dirinya di rumah membuat Kalia menjadi asing, dan menumpuk amarah, sebab, lagi-lagi ia tak kunjung diberikan penjelasan apapun. Tapi paling tidak, laki-laki itu masih berupaya menemuinya, walau hanya menyisakan keheningan di tengah-tengah kepul nasi goreng yang baru saja matang.
Kalia menatap Nugra yang tengah lahap menyantap makanan di depannya. Rupanya hal lain yang harus ia syukuri juga adalah bahwa tanpa kehadiran Nugra di hidupnya ia mungkin sudah jadi mayat hidup saat ini. Nugra satu-satunya alasan mengapa ia tidak bisa membenci sepasang itu, dan fakta pahit yang harus ia terima adalah bahwa Nugra adalah saudara tiri Kalia. Seakan sudah direncanakan, ia hadir di tengah-tengah gemuruh badai yang semakin hari semakin membesar.
“Masih enak kan kayak dulu?” Nugra menatapnya
Kalia mengangguk, “Masih kok. Nggak berubah sama sekali, yang jual juga masih Pak Wus?” 
“Pak Wus meninggal beberapa bulan lalu, sekarang yang gantiin anaknya. Namanya Rus. Rusdi.” Kalia terhenyak beberapa saat. Bertanya-tanya kapan terakhir kali ia bertolak ke Bandung? Kapan tepatnya ia menyantap nasi goreng buatan Pak Wus yang selalu ia kagumi. Selain karena alasan pribadinya, nasi goreng ini memang terlihat begitu spesial di matanya. 
“Sering kamu beli ini?” 
“Sering. Tiap pulang ngantor, ada aja yang buat aku pengen mampir, bisa jadi karena lagi irit atau kangen pengen nostalgia.” 
Kalia tersenyum tipis. Ia masih ingat betul, selain dirinya yang diam-diam bertemu dengan laki-laki itu, Kalia juga mengajak Nugra bersamanya. Ia ingin memperlihatkan pada laki-laki itu bahwa dirinya sudah baik-baik saja. Kehadiran saudara tirinya bukan jadi beban, melainkan jadi secercah harapan di tengah-tengah kehidupan keluarganya yang carut marut. Mereka bertiga rupanya menikmati momen-momen pertemuan diam-diam itu di warung nasi goreng pinggir jalan. Sampai suatu saat Perempuan itu memergoki mereka bertiga dan mengamuk seperti orang kesurupan. Sejak saat itu, tidak ada lagi pertemuan diam-diam. Perempuan itu jadi lebih pemarah. Kalia tahu, sebenarnya Perempuan itu sudah lebih sabar menahan kesakithatian yang selama ini tampak jelas di depan matanya. Kalia tahu benar sorot mata ketidaksukaan yang dilontarkan Perempuan itu tiap kali menatap Nugra. Perempuan itu tidak akan pernah menyilakan Nugra untuk hadir dan menyakitinya. Kalia tahu, Perempuan itu sudah putus asa. 
“Kerjaan lancar, Kal?”
Kalia menoleh ke arah Nugra, “Kayaknya aku mau resign aja deh. Mau nyoba di tempat baru, ganti suasana.” Kalia membawa sampah-sampah bekas makanan ke dapur belakang. Nugra mengikuti Kalia, kemudian duduk di kursi bar mini. 
“Sudah ada rencana mau ke mana?” Kalia mengambil tempat di samping Nugra. Ia menggeleng pelan. “Belum tahu. Menurut kamu gimana, Gra?”
“Kamu sebenernya butuh apa, Kal? Kalau mau cuti setahun ya silakan. Kalau memang benar-benar sudah jenuh dan pengen resign ya nggak apa-apa juga, asal sesuai sama kebutuhan kamu. Jangan habis itu menyesal. Menyesal berlebihan.” Nugra menekankan pada kata terakhir. Menyesal berlebihan. Kalia menghela napas perlahan, bahkan dirinya juga tidak tahu. 
“Aku mau nyari jawaban. Pertanyaan aneh. Dari seseorang lima tahun yang lalu.” Kalia menatap lurus ke arah langit-langit ruangan itu. Di sampingnya, Nugra terlihat lebih tenang. Laki-laki itu bahkan tidak memaksa Kalia untuk berterus terang.
“Sam,” Kalia tersentak, Nugra kemudian melanjutkan, “Samudera Wiara?” Nugra kemudian beranjak dari tempatnya, entah kemana perginya, tak lama ia muncul dengan sebuah amplop lusuh di tangannya.
“Dari Samudera.”
“Sejak kapan?”
“Sejak kamu bertekad merantau ke Jakarta. Dia nggak tahu kamu pergi hari itu. Katanya aku nggak perlu ngasih amplop itu ke kamu, sampai kamu benar-benar pulang ke tempat ini.” Nugra menyerahkan amplop lusuh itu ke Kalia. Kalia bergeming. Wajahnya seketika pucat pasi. Entah apapun yang ada di dalam sana, ia tidak berniat membukanya. Sebab, Sam adalah laki-laki penuh misteri yang ia kenal. bertahun-tahun berteman tak lantas ia jadi tahu isi kepala Sam. Amplop itu bisa jadi jawaban yang selama ini Kalia cari. Jawaban dari banyaknya pelabuhan serta dermaga yang ia datangi. Jawaban yang sebenarnya dekat tapi waktu tak pernah menyilakan Kalia untuk tahu lebih awal. Andai dulu ia bisa lebih sabar, sehingga ia tak usah bersusah payah mencari sebuah pelengkap dari pertanyaan rumpang milik Sam. Dalam genggamannya, Kalia justru putus asa. Disampingnya, Nugra menyilakan Kalia untuk menyelami pikirannya sendiri. Nugra memberikan waktu sebanyak-banyaknya untuk Kalia sampai ia benar-benar butuh pertolongan.
“Kalau masih ragu, kamu nggak perlu buru-buru buat tahu apa isinya, tapi, apapun yang ada di dalam sana, aku cuma perlu bilang sama kamu bahwa Sam orang baik.” Nugra menyentuh pelan puncak kepala Kalia, sebelum akhirnya meninggalkan Kalia berdua dengan amplop lusuh itu. 
Amplop lusuh yang setelahnya, justru membuat Kalia seperti terombang-ambing di lautan lepas. Di Samudera yang lain.

Komentar

Postingan Populer