Samudera #3


    “Sebenarnya aku sudah mati, Sam.” Kalia membuka suara, di tengah-tengah lenguhan panjang sebuah kapal yang sebentar lagi akan berangkat. Di tengah-tengah desau angin pelabuhan yang mengusik sekaligus membuat damai. Serta di tengah-tengah keputusasaannya terhadap apapun yang tidak pernah membawanya pada sebuah tempat bernama akhir. Disampingnya, yang diajak bicara hanya menatap lurus langit-langit yang sudah mulai menjingga. Tak ada sahutan apapun. lagi-lagi yang terdengar hanya kesibukan para penghuni pelabuhan, atau mungkin kesibukan pikirannya sendiri yang tak pernah padam.
Kalia tersenyum. Ia kemudian melanjutkan, “Tapi sejak bertemu seorang teman, sesuatu di dalam sana memaksaku untuk hidup. Berteriak berulang kali sampai-sampai membuatku ingin kembali berharap.” Ia menoleh ke arah Sam. Laki-laki itu memejamkan matanya. Dadanya naik turun dengan irama yang tenang. Setenang samudera yang tak pernah dijamah oleh siapapun. 
“Berharap atas apa?” Sam angkat bicara, kali ini gantian Kalia yang memejamkan matanya. rapat-rapat. 
Kalia tak lantas menjawab, napasnya naik turun. Lenguhan kapal di pelabuhan sore itu tidak lagi terdengar seperti biasanya, namun lebih seperti teriakan dirinya sendiri yang bergema dalam pikirannya yang runyam. Kalia menghapus air mata yang terlanjur turun itu dengan cepat, dan penuh amarah. Ia ingin mengatakan pada laki-laki di sampingnya bahwa ia ingin sekali hidup. Ia ingin merasa aman dari apapun dalam hidupnya yang seperti pembunuh. 
Kalia tersenyum, kali ini untuk keegoisannya meminta kesempatan hidup di sela-sela kematiannya yang kesekian. 
“Untuk kembali mencintai. Apapun dan siapapun.” Suara Kalia terdengar lirih di telinga Sam. Teramat lirih sampai-sampai dirinya ingin tenggelam saja di tengah lautan manapun. Tangannya mengepal keras. Diam-diam Sam merapalkan sumpah di hadapan langit yang menjingga, lenguhan kapal tak berujung, serta angin laut yang terasa perih menyentuh kulitnya—bahwa, ia akan jadi apapun atau siapapun bagi perempuan bermata indah itu. 

Pada lenguhan terakhir sebuah kapal paling besar di pelabuhan sore itu, Sam menumbalkan dirinya untuk hidup Kalia.

*
Sudah dua minggu lebih setelah ia bertolak ke rumah masa kecilnya dan bertemu kembali dengan Nugra. Kini, Kalia harus berhadapan dengan setumpuk pekerjaan yang tak pernah membuatnya bahagia. Jangankan bahagia yang definisi akhirnya terlalu kompleks, menghela napas dengan tenangpun tak pernah Kalia dapatkan secara cuma-cuma. Ia menatap nanar tumpukan berkas-berkas yang yang sudah tak beraturan, seperti halnya hidupnya saat ini, ia tak tahu harus memperbaiki dari mana. 
Ditengah-tengah rencana ingin kaburnya dari kantor siang itu, sebuah pesan masuk. Dari Nugra. Kalia dengan cepat membukanya. Deretan foto-foto pantai dengan pasir demikian putih memenuhi layar ponselnya saat ini. Ia iri sekaligus bahagia Melihat Nugra. Seminggu lalu, Nugra mengabarinya bahwa saudaranya itu akan melakukan perjalanan ke arah Timur. Entah dalam rangka apa, yang pasti Nugra menamainya dengan perjalanan tanpa akhir, yang bisa disimpulkan bahwa Kalia tak akan bisa menemui Nugra dalam waktu dekat, setahun, dua tahun atau bahkan bertahun-tahun setelahnya. Sebab Nugra akan melakukan perjalanan paling rumit yang akan mengantarkannya pada sebuah ketenangan lain. Pencarian yang hanya bisa ia temukan ketika langkah kakinya tidak lagi didasari atas pembalasan dendam masa lalu, tapi keinginan lain yang lebih besar, namun sederhana—yaitu sembuh. 
Kalia bukan hanya iri karena ternyata pemandangan di sana seperti fotokopi surga, melainkan karena Nugra sudah mencoba berdamai dengan apapun yang selama ini mengikatnya, mengikat mereka berdua dengan erat. Bahwa Nugra tak lebih putus asa ketimbang dirinya saat ini, yang hanya merutuki tumpukan-tumpukan berkas tak bernyawa di depannya. Nugra sudah melangkah jauh di depannya, sedang ia tak pernah pergi kemana-mana. Nugra selalu punya rencana-rencana besar untuk memperbaiki hidupnya yang sudah mulai padam, dan lagi-lagi Kalia, justru membiarkan api kehidupannya padam begitu saja.
Kalia membalas pesan itu dengan sebuah do’a agar Nugra selalu dalam keadaan sehat di manapun laki-laki itu menginjakkan kakinya. Ia berharap Nugra bisa menemukan kedamaian yang selama ini tak pernah ia temukan dalam kamus manapun. Sebuah damai yang sebenarnya ada pada diri sendiri namun tak punya cukup banyak keberanian untuk pulang padanya. Seperti takut yang menyusuri dan memenuhi setiap celah dalam dirinya.
“—takut nggak akan buat kita pergi ke mana-mana, Kal.” 
Ia jadi teringat pada perkataan Sam bertahun-tahun lalu yang sudah seperti mantra untuk dirinya sendiri. Mantra yang ia rapalkan tiap kali napasnya berderu kencang tak beraturan. Yang ia rapalkan ketika jiwanya meminta pulang pada masa kecilnya yang gelap. Yang ia rapalkan ketika kata mati berada dekat di ujung lidahnya. 
Sekali lagi, sebelum pesan itu ia kirim, Kalia mengetikkan kalimat yang selama ini tak pernah ia suarakan pada Nugra;

Aku bahagia, dan akan selalu bahagia memiliki kamu. 

Komentar

Postingan Populer