Samudera #4

     

    Entah kapan terakhir kali Kalia menyadari bahwa ia merindukan Sam. Merindukan dalam artian yang lebih luas. Misal merindukan gelak tawa laki-laki yang-entah-rambutnya-masih-gondrong-atau-tidak. Merindukan celotehan sederhana miliknya yang ternyata mampu menyeretnya kembai ke masa lalu; pada masa-masa yang hampir tidak ingin ia ingat sama sekali. Merindukan kesunyian yang laki-laki itu ciptakan hanya untuk memberikan Kalia cukup ruang menangis. Kalia belum bisa menafsirkan arti kata rindu yang lebih spesifik, terarah, menuju satu titik. Entah karena sudah lupa seperti apa bentuknya, atau memang tidak tahu. Sebab, Kalia sudah sangat jauh. Jauh dari apapun yang menyeretnya sampai ke perasaan itu.
Sepulang dari kantor, Kalia mendadak ingin memesan Americano di kedai kopi tempat Sam bekerja. Memang belum genap lima bulan dari pertemuan terakhir mereka, bahkan hanya berkisar 3 bulan, tapi entah mengapa rasa-rasanya sudah terlalu lama. Mungkin akhir-akhir ini banyak hal terjadi, secara tiba-tiba, baik di dunia nyata maupun di pikirannya sendiri yang menyeret-nyeret sosok Samudera, yang membuat Kalia selalu bermandikan peluh tiap kali ia terbangun dari tidurnya. Kalia mendorong pintu kaca yang pinggirannya dibingkai kayu jati itu, matanya langsung tertuju pada tempat di mana biasanya Sam berdiri, mondar-mandir, dan tangannya tak pernah berhenti meracik bubuk kopi itu. Matanya mencari-cari. Namun, sosok yang ia cari tak ada.
“Kalia, ya? Nyari Samudera?” Kalia tahu barista perempuan itu. Ia kerap kali satu shift dengan Sam.
Kalia mengangguk, “Iya. Kayaknya aku nggak lihat Sam hari ini, dia libur?”
Barista perempuan bernama Marya itu mengangguk, “Iya, udah seminggu sih sebenernya dia nggak masuk. Ambil jatah cuti. Tumben-tumbennya tuh anak setelah bertahun-tahun kerja.” Marya meninggalkan Kalia sesaat, sibuk dengan alat grinder dan mesin kopi di depannya.
“Dia bilang dia ke Yogyakarta. Cuma itu sih yang aku tahu.”
Kalia bergeming. Otaknya mendadak penuh sesak. Ia tak tahu harus ia kemanakan kebenaran yang baru didengarnya ini. Sam mendadak pergi, atau mungkin memang sudah direncanakannya jauh-jauh hari. Kalia menemukan satu fakta menyakitkan, bahwa ternyata dirinya memang tidak pernah ada dalam rencana-rencana ajaib milik Sam. Sam mendadak pergi ke kota lain, yang jauh, yang tak pernah Kalia kunjungi barang satu kali pun. Sam mendadak jadi asing baginya. Kalia tak tahu apa-apa. Kosong. Jalan pemikiran Sam yang terlalu antah-berantah membuat Kalia nyaris putus asa. Ia tidak melihat adanya jalan keluar lain, selain tubuhnya terasa lemas dan pandangannya mengabur. 
Marya menyentuh lembut lengan Kalia, “Kayaknya Sam nggak ngasih tahu kamu apapun ya?” Perempuan itu memandangi Kalia iba. Sesuatu yang tak pernah disukainya, sebab, ia merasa dikerdilkan. Ia dianggap tak mampu bertumpu pada kakinya sendiri. 
Kalia mengulum bibirnya, ada rasa aneh yang tak dikenalinya tumbuh di dalam sana. Memberontak. Memaksa ingin keluar. Mencari-cari celah di dalam diri Kalia untuk diakui. Tapi Kalia tak tahu apa itu, andai Sam di sini. Andai Sam ada di dekatnya, sebab sejauh ini hanya laki-laki itu yang bisa mengartikan hal abstrak dalam dirinya. Sam bagai penerjemah yang dilahirkan ke bumi hanya untuk membuat hidup Kalia tak lagi dipenuhi ketidaktahuan. Ketidaktahuan yang ia ciptakan hanya untuk membuatnya aman. Tak lain dan tak bukan adalah aman dari rasa takut.
“Sam baik-baik aja kok, Kal. Bahkan wajahnya sumringah sekali waktu pamitan denganku,” Marya mengambil secangkir Americano dan menyerahkannya pada Kalia.
“Aku nggak mesan kopi.”
Marya tersenyum tipis, kedua lesung pipinya mengembang, “Sam yang nyuruh. Dia minta tolong untuk membuatkanmu Americano tiap kali kamu datang berkunjung.” 
Kalia menatap Americano itu dengan tatapan nanar. Tak berselera sedikitpun, sebab sosok Sam tiba-tiba muncul di dalam sana. Hadir diantara amarah yang membuncah dan membuatnya demikian sesak.
Jangan, jangan perasaan ini lagi. 
Kalia beranjak dari kursinya. Otaknya tidak lagi penuh sesak, melainkan kosong melompong. Hampa. Mati rasa. 
Ditempatnya, Marya mungkin merasa bersalah sebab, informasi tentang Sam terasa penggal-penggal. Seperti nafasnya yang terdengar sengal-sengal. Kalia pamit, menarik seluruh atmosfer tentang Sam yang melekat pada kedai kopi tersebut. Ia tahu, dan ia paham betul sikap baik Sam. Marya mungkin beranggapan bahwa Sam begitu peduli pada Kalia. Namun sayangnya permintaan itu terdengar hambar di telinganya. Permintaan itu jelas-jelas membawa Kalia pada sebuah peryataan pahit, bahwa Samudera tidak akan pernah kembali ke tempat itu. Samudera tengah berkeliaran di lautan lain, mencari tempat baru untuk kemudian tenggelam di sana selamanya. 
Marya ikut berdiri, kemudian ragu-ragu memeluk Kalia. 
“Kal, aku nggak pernah tahu seperti apa dan bagaimana kamu melihat Sam. Walau nyatanya memang kamu lebih dulu mengenal dia daripada aku. Tapi satu hal yang bisa aku katakan padamu…bahwa Sam adalah orang baik.” Marya melepaskan pelukan itu perlahan. Dihadapannya, Kalia tersenyum rikuh. Senyuman yang dialamatkan pada perasaannya yang sedang hancur. 
“Kamu adalah orang kedua yang bilang bahwa Sam adalah orang baik. Kalau memang benar, semoga aku benar-benar bisa melihat itu,” Kalia menarik nafas beratnya, kemudian melanjutkan, “Terima kasih semuanya ya, Mar. Setidaknya berkat kamu, aku nggak perlu berharap terlalu jauh.” 
Sebelum Kalia benar-benar hilang dibalik pintu kaca itu, Marya menahan langkah Kalia yang sudah demikian gontai dengan sesuatu yang sejak tadi tak berani dilontarkannya. Marya yakin setelah ini, Kalia mungkin akan menyusul laki-laki itu. 
Sleman?”
Sam mengangguk santai.
“Rumah budheku. Dia yang merawat aku, Mar. Dia cuma punya aku, nggak ada yang lain.” Sam kemudian menyerahkan secangkir latte hangat pada pelanggan berambut pendek itu.
“Terus, kamu mau ke sana?” Marya masih penasaran, diikutinya ke manapun Sam melangkah. 
“Iya. Sudah saatnya aku balik, Mar. Bertahun-tahun aku menunggu sesuatu, tapi kayaknya nggak akan pernah ada jawabannya. Kayaknya kota ini memang bukan buat orang yang tidak sabaran sepertiku.”
Marya hanya menyimak, jauh di lubuk hatinya ia tak pernah ingin lelaki bernama Samudera itu lenyap dari pandangannya. Sam sudah seperti penyelamatnya. Penyelamat hidupnya yang mungkin tak akan pernah bisa ia balas kebaikannya. Sebab, ia tak punya apa-apa. 
“Jangan sampai Kalia tahu, Mar.”
Marya tahu nama itu. Kalia. Perempuan dengan mata indah yang pernah ditemuinya. 
“Kenapa? Takut dia tiba-tiba nyusulin kamu? kemana tadi? Ke Sleman?”
“Ke tengah laut juga dia bakal pergi.”
Marya terdiam. 
“Janji?”
“Untuk?”
“Membiarkan Kalia mencari tahu untuk terakhir kalinya.”
Marya tak memberi jawaban. Menolak dan menerima akan tergantung seperti apa kenyataan nantinya akan membawanya. Di sampingnya, Sam juga tidak menunggu jawaban apapun dari Marya. Ia justru sibuk menyalakan alat grinder kopi yang berisik. Setidaknya agar gemuruh dalam hatinya tak terdengar jelas. 
Sore itu, di akhir percakapan yang mengarah pada perpisahan, Marya diam-diam menatap punggung laki-laki itu dengan tenang. Setidaknya, penyelamatnya tahu bagaimana harus menyelamatkan dirinya sendiri. Sudah seharusnya Sam juga ikut andil menyelamatkan segelintir kebahagiaan yang masih tersisa. Sudah seharusnya Samudera menemukan lautan lepas yang dapat membuatnya tetap hidup. Marya harus merelakan sosok penyelamat yang selama ini bersemayam pada tubuh Sam. 
Sam harus tetap hidup, sebagaimana dirinya yang diselamatkan berkali-kali oleh laki-laki itu. Berkali-kali membantunya memunguti kepingan yang padanya semua seakan sarat makna. Dan berkali-kali membuatnya keluar dari kejamnya hidup yang tak pernah menginginkannya. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari melihat penyelamat hidupnya akhirnya melakukan hal yang sama. Detik itu juga, Marya menyunggingkan senyum penuh kerelaan.
“Dan janji, kamu harus tetap hidup.”

Komentar

Postingan Populer