Aku tak mau (lagi) berduka sendirian

 


Perjalanan di tahun ini, rupanya tak banyak yang berubah; isinya masih sama persis ketika satu per satu luka-luka itu dibuka, dan semakin meradang. Mungkin yang sedikit berbeda hanyalah bahwa suatu hari aku mendapati diriku sudah lebih bisa menerima. Walau kenyataannya perihal menerima serta ikhlas mengikhlaskan jadi sebuah perjalanan panjang yang tidak akan pernah menemui kata berhenti

Aku sangat menderita. Semua isi kepalaku rasanya berebutan ingin meminta penjelasan. Tubuhku menolak untuk memeluk diriku sendiri. Ruang kecil yang aku ciptakan untuk menghadirkan hangat hilang seketika. Hilang bersamaan dengan perginya orang yang aku cintai untuk selama-lamanya. Sesaat duniaku berhenti, tak lagi kulihat cahaya berpendar di depan mataku. Aku menderita. Sungguh.

Kepergian kakek dan mbah jadi perayaan paling menyakitkan yang Tuhan hadirkan dalam hidupku. Setumpuk kenangan yang aku simpan selama bertahun-tahun kini entah ke mana perginya. Aku termenung. Tenggelam dalam narasi kesedihan tak berujung, seperti seorang anak kecil yang kehilangan boneka beruang kesayangannya. Aku hanya bisa menggenggam sesal seerat mungkin, sebab, saat-saat terakhir mereka, tak ada aku disampingnya; Menyaksikan mata tua namun sarat akan kasih itu perlahan-lahan tertutup. Memeluk raga yang bersamanya seakan rumah terasa sedekat nadi serta menciumi wajah mereka yang tak akan pernah lagi aku temui di tahun-tahun menuju dewasaku.

Berganti tahun, rupanya aku kerap kali mendapati diriku sesenggukan di balik bantal, berseliweran kenangan abu-abu tentang mereka. Setiap hari ruangku terasa semakin sempit, hela nafasku tak lagi bisa se damai dulu. Aku mencari-cari, pada setiap tangis tengah malamku, pada setiap sesak di dada yang terasa begitu memilukan. Aku menderita. Sangat-sangat menderita. Rupanya, aku masih belum bisa bertemu ikhlas. Babak baru dalam hidup setelah perayaan kematian dimulai. Ketika semua orang sudah bergegas menulis lembaran baru yang di dalamnya tak ada lagi narasi tentang mereka berdua, sedang aku masih belum bisa apa-apa. 

Pada hari-hari menuju dewasaku masih banyak yang harus aku tuntaskan, tentang bagaimana belajar merelakan, menerima, serta ikhlas-mengikhlaskan yang aku tahu, itu jadi bagian tersulit dalam hidup. Se-dewasa dan se-tangguh apapun manusia, ada rapuh dan keputusasaan yang mereka kubur dalam-dalam. Tapi toh hidup harus tetap berlanjut. Kepergian kakek dan mbah memang tidak mudah aku relakan begitu saja, tapi berkat mereka, aku tahu bahwa menjadi dewasa adalah tentang belajar terbiasa perihal pergi dan datangnya seseorang dalam hidup. Ikhlas butuh waktu, jadi kubiarkan alam raya menyembuhkan luka-lukaku di waktu yang tepat. 

Diriku, aku tak mau lagi berduka sendirian. Aku mau kita sama-sama beranjak dari kesedihan dan sudah seharusnya kita kembali bahagia. Perlahan-lahan. Bisa, kan? 

Komentar

Postingan Populer