pada remah-remah sepotong cinnamon roll,


 Aku benar-benar tak menunggunya. Terlintas pun bahkan tak ada. Tapi dengan mengunjungi sepiring kue bernama cinnamon roll ini serta segelas vanilla latte less sugar, apa tidak memunculkan tanda tanya besar Si Penjaga Toko, sebab sudah hampir dua tahun belakangan sama sekali tak kuinjakkan kaki disana?

Aku bertaruh. Saat ini, di balik mesin kasir tuanya, ia menyiratkan pertanyaan klasik untukku. 

Aku sengaja sibuk, di balik teguk demi teguk kopiku serta kunyahan demi kunyahan sepotong cinnamon roll ini, berharap Si Penjaga Toko tetap pada tempatnya, menunggu pembeli. 

    "Mbak Cinnamon," Dan aku salah. Suara cempreng itu justru dengan lantang terdengar di telingaku. Aku meliriknya, kemudian menyunggingkan senyum tipis yang aku rasa lebih kepada ringisan. 

    "Saya nggak akan nanya apa-apa, Mbak Cinnamon tenang aja. Saya justru mau ngasih ini ke Mbak." Si Penjaga Toko meletakkan secarik amplop lusuh dengan bercak kotor hitam yang hampir memenuhi permukaannya.

    Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Maaf ya Mbak Cinnamon, amplopnya kotor banget, ya maklumlah udah dua tahun dia tidur di mesin kasir. Biar nggak lupa kalau sewaktu-waktu Mbak Cinnamon datang kemari."

    "Mas, namaku Lestari loh, bukan kayu manis."

    Si Penjaga Toko hanya bisa tertawa mendengar keenggananku dipanggil 'cinnamon' dan bukan nama asliku. Setelah puas tertawa, ia berbalik menuju tempatnya, di balik mesin kasir tua. Aku menghela nafas beratku, sekarang giliranku berhadap-hadapan dengan semua hal yang sewaktu-waktu bisa membawaku pada perjalanan ke museum masa lalu. Aku mengambil secuil cinnamon roll yang kini bentuknya sudah tak beraturan lagi. Mengunyahnya dengan pelan dan seksama. Sayangnya, ia berakhir serat di tenggorokan. 

    Aku membuka amplop kelewat lusuh itu. Sungguh, tak menarik benar amplop ini jika dilihat selintas. Berhubung Si Penjaga Toko tadi yang memberikannya padaku, mau tak mau aku harus ikhlas dan sepenuh hati menerimanya. Amplop itu ternyata berisi surat. Tak tahu berapa banyak halaman di sana, tapi yang jelas, cukup untuk sekali duduk dan menghabiskan sepotong cinnamon roll dengan segelas vanilla latte less sugar itu. 

    Pada halaman pertama, tak kutemukan kalimat-kalimat pembuka seperti lumrahnya sebuah surat, sepeti 'apa kabar?' 'semoga sehat selalu' dan 'kabarku baik saja'. Tak ada. Tak ada kalimat seperti yang aku sebutkan di atas, melainkan sebuah resep cara membuat cinnamon roll lengkap dengan tata cara memanaskannya kembali. Aku menyunggingkan senyum. Tentu ini pertanda baik, aku tak perlu repot-repot kembali ke toko ini, memesan menu yang sama, dan bertemu Si Penjaga Toko yang selama ini diam-diam menjadi saksi semua pertemuan dan percakapan di meja bundar yang tengah aku tempati sekarang.

    Aku membenarkan posisi dudukku, bersiap melanjutkan penjelajahanku pada halaman berikutnya. Dan benar saja, pada halaman kedua surat ini, kalimat-kalimat panjang itu dimulai. Perasaan takut tiba-tiba merayap begitu saja. Aku melirik Si Penjaga Toko yang kini tengah mengobrol dengan Si Lesung Pipi. Jentari. Perempuan taksirannya yang membuat Si Penjaga Toko kerap kali mengabaikanku ketika Jentari datang di waktu yang sama denganku.

'Iya, iya...Mbak Cinnamon. Seperti biasa, kan? tinggal aku panaskan, tepat di 12 detik, tak kurang tak lebih." Lalu aku beringsut ke mejaku disamping jendela besar yang berhadapan langsung dengan jalanan Ibukota. 

Pandanganku buyar. Sebagian kalimat di halaman itu membuatku tergesa-gesa menarik nafas sebanyak-banyaknya. Sedalam-dalamnya. Sialnya, justru aroma cinnamon roll yang pertama kali memenuhi inderaku. Seluruh ruangan 5x5 itu sempurna beraroma cinnamon roll yang tengah dipanaskan di dalam microwave. Menetap di sana. 

"Selepas percakapan kita sore itu, aku tahu bahwa satu-satunya hal yang bisa membuatku terus mencintaimu adalah kesukaanmu pada sepotong cinnamon roll berlapis gula. Yang dengan berat hati harus kuakui bahwa aku tak pernah menyukai aroma rempah kayu manis yang terlalu menusuk hidungku. Namun di hadapanku, wajahmu justru berseri-seri. Mata hitammu membulat sempurna. Dan tak henti-hentinya senyummu terpatri di sana. Tari, ada banyak hal di dalam duniaku yang tak kusukai. Yang aku letakkan pada daftar panjang sesuatu yang harus aku jauhi. Sebisa mungkin, aku mencari jalan alternatif supaya tak ada hari di mana aku harus berlarian dan mencari tempat sembunyi. Pada tahun-tahun aku beranjak dewasa, setelah menyaksikanmu menikmati sepotong cinnamon roll, dan mendengar celoteh riangmu tentang kayu manis di sela-sela kunyahanmu itu, aku menyadari bahwa dalam hidup kita cuma butuh seseorang untuk dicintai dengan penuh. Sepenuh hatimu ketika sepotong kue itu hadir di hadapanmu. Aku tak perlu lagi takut dan lari ketika aroma kayu manis itu merangsak masuk ke otakku. Memenuhi ruangan. Aku tak perlu lagi menyalahkan mengapa aroma kayu manis itu harus kamu sukai sedang aku tak bisa. Aku tak perlu gusar mencari tempat sembunyi dan berpulang padanya. Kamu membuatku belajar untuk menerima segala ketidaksukaanku pada duniaku.

"Pada remah-remah kue cinnamon roll kesukaanmu itu, aku percaya bahwa siapa saja bisa menghadirkan cinta di ruang yang penuh sekat seperti milikku. Seperti yang selama ini ada pada duniaku yang gelap gulita. Walau tak utuh, remah-remah itu tetap bagian dari sepotong cinnamon roll yang selalu membuatku ingin terus merekam kebahagiaanmu. Sore itu, di hari terakhir aku bisa menghirup aroma kayu manis di toko milik Baron, aku sudah siap untuk melanjutkan pengembaraanku. Walau harga yang harus kubayar adalah tak lagi bisa aku menyaksikan mata indah itu membulat sempurna, atau gelak tawamu yang merayapkan hangat pada setiap sekat-sekat di dalam duniaku. Aku tak pandai mengucapkan selamat tinggal, atau kalimat perpisahan lainnya. Kutahu itu juga akan menyakitimu. Yang bisa aku lakukan adalah hanya sebatas menitipkan sebuah resep cinnamon roll pada Baron. 

"Tari, terima kasih untuk setiap remah-remah cinnamon roll milikmu di semua perjumpaan kita di toko ini. Aku berharap semoga Baron tak mengubah apapun supaya kau tak perlu bersusah payah untuk mencarinya di toko lain. Terakhir, sebelum aku menyudahi surat ini, semoga bahagiamu selalu ada pada setiap potong cinnamon roll yang kamu pesan. Tak peduli ada atau tidaknya aku di meja bundar itu, bahagia itu tetap menjadi milikmu. Sampai kapanpun."

Temanmu,

Banyu


    Aku menutup surat itu. Bersamaan dengan waktuku untuk menyudahi segala perasaan yang tertinggal di masa lalu. Banyu akan tetap menjadi Banyu yang aku temui bertahun-tahun lalu. Tak kurang tak lebih. Pada potongan terakhir cinnamon roll itu, aku tak lagi menunggu Banyu. Sebab laki-laki itu akan selalu menetap pada setiap remah-remah cinnamon roll yang kupesan. 

    Selamanya.

  

Komentar

Postingan Populer