pukul satu dini hari


 

Di pertengahan bulan oktober ini, banyak hal yang memenuhi kepalaku. Ada banyak hal yang membuatku sesenggukan di balik bantal, biar makin syahdu tentunya sambil mendengarkan beberapa lagu baru dari album figura renata, dijamin makin rembes. Aku banyak berkaca. Banyak berandai-andai. Banyak menyalahkan diri sendiri, tapi juga banyak melepaskan maaf. Intinya, bulan ini pikiranku carut marut. Hingga sampai hari ini, sembari aku mengetik, air mataku tiba-tiba jatuh.

Beberapa minggu lalu, selepas adu mulut dengan adik laki-lakiku, bunda jatuh pingsan. Dengan langkah terburu-buru menuruni anak tangga, aku menjerit. Hatiku sakit. Banyak sekali kata 'seharusnya-seharusnya' yang berlarian di kepalaku. Untuk yang pertama kalinya dalam hidup, aku menyaksikan bunda sedemikian rapuhnya. Masih aku ingat jelas betapa sakitnya aku menyaksikan itu. Tanganku gemetar, langkahku gontai, yang aku mau detik itu juga adalah bunda baik-baik saja.

Banyak sekali malam-malam yang aku lewati dengan rasa bersalah. Baik sebagai seorang anak, kakak, dan sebagai diriku sendiri. Aku belum bisa menyampaikan perasaanku dan keinginanku dengan baik kepada kedua orang tuaku. Belum bisa memeluk adik laki-lakiku dan menjadi pendengarnya untuk semua hal menyenangkan dan tidak menyenangkan yang dia alami, walau aku paham, dia sedang tidak baik-baik saja. Mungkin sudah dari kemarin dia menjerit minta tolong, tapi justru aku yang tak mendengar teriakannya. Aku meminta maaf sebesar-besarnya. 

sungguh-sungguh meminta maaf.

Selain itu, aku juga meminta maaf pada diriku sendiri yang tidak bisa berbuat banyak hal ini. Rasanya sakit sekali ketika diri kita sendiri tidak bisa kita jadikan pijakan, dijadikan rumah, dan tempat berpulang. Lantas, mau kemana lagi selain kepada diri sendiri? Rasanya aku kangen sekali mengobrol berlama-lama dengan diriku sendiri. Mungkin karena di rumah aku tidak punya cukup ruang untuk menangis sejadi-jadinya, aku jadi sering marah dan menyalahkan diri sendiri. Tidak baik memang, tapi sungguh, aku bingung harus bagaimana. Jalan terakhirnya adalah mau tidak mau aku harus mengurai satu-persatu apa yang sebenarnya tengah mengganguku, tak lain dan tak bukan adalah perihal masa mendatang. 

masa mendatang,

atau masa depan,

atau masa-masa yang masih abstrak itu,

membawaku pada hari-hari penuh ketakutan. 

dan sepertinya tak bisa aku uraikan sekarang, sebab kedua mataku sudah sembab, hidungku sudah mampet karena sejak tadi, aku mengetik sambil bercucuran air mata. 


Komentar

Postingan Populer