Hari ayah yang terlambat

 


Bicara perihal sosok ayah, laki-laki yang menjadi figur 'kuat' di keluarga, tak jarang membangkitkan sisi emosional dalam diriku yang terlalu berisik ini. Bisa tiba-tiba merasa sakit, mengucurkan air mata, serta kedatangan bayangan-bayangan lain yang semakin menggelap. Aku tak tau pasti, yang jelas, ayah, memiliki narasi panjang tak bertepi yang isinya hanyalah kalimat-kalimat rumpang. Setelahnya aku tahu, bahwa kerumpangan itu sudah seharusnya aku isi dengan kejujuran.

Aku tak pandai berbicara baik-baik di depan ayah. Tabiat ayah yang keras dan minim romantisme menjadi tameng mengapa selama ini aku merasa jauh dengannya. Aku tak tahu apakah ia diam-diam merindukan pelukanku? atau menantikan saat-saat bisa bicara berdua dengannya di mobil? atau sekedar meminta saran atas hal-hal sepele? Entah kapan terakhir kali aku benar-benar merasa tenang di samping ayah. Aku lupa, benar-benar lupa. Kadang, hampir di tengah malam menuju tidur, pikiranku tiba-tiba runyam begitu saja. 

"Kangen ayah rupanya."

Lalu sesenggukan tak jelas dan menyalahi semua hal yang terlewati begitu saja di umur-umur menuju dewasaku. Ada banyak narasi-narasi yang menjelaskan betapa lucunya hubungan antara anak perempuan dan ayahnya. Aku tahu, bahkan tak jarang aku menitikkan air mata saat membaca narasi-narasi tersebut yang gemar berseliweran di media sosialku. Sungguh, merindukan obrolan-obrolan dengan ayah di sela-sela waktuku jadi barang mewah yang tak bisa dibeli. Tak bisa didapat secara cuma-cuma. 

Hubunganku dengan ayah tak selalu baik-baik saja. Ada saja hal-hal yang membuat kita selalu berseberangan dan berakhir pada diskusi panjang tak berkesudahan, atau jika aku lelah dan tak tahu bagaimana harus bebicara baik-baik padanya, aku memilih pergi, dan diam. Padahal tugasku (sebagai anak yang sudah dewasa ini) adalah menyiapkan hati seluas-luasnya untuk menerima segala bentuk penolakan yang bisa terjadi kapanpun. Sudah seharusnya aku menempatkan diriku bukan lagi sebagai anak kecil yang selalu ingin dimengerti. Dewasa, sudah seharusnya seperti itu, setidaknya dari apa yang aku yakini. 

Di hari ayah yang sudah sangat terlambat ini, aku beruntung jadi anak perempuannya. Aku beruntung pernah melihat kedua matanya sembab ketika aku jatuh sakit. Aku beruntung bisa belajar memahami bahasa cinta dari segala kekakuan yang ia miliki. Sungguh aku masih ingin belajar, apapun tentang ayah. Aku masih ingin melihatnya diam di kursi meja makan dengan wajah yang suntuk. Aku masih ingin mendengar segala keluh kesahnya perihal adik lelakiku. Aku masih ingin menertawai semua lelucon yang ia lontarkan si sela-sela waktu menonton tv, tak peduli itu lucu ataupun tidak. Aku masih ingin mengingat-ingat semua nasihat perihal hidup yang selama ini ayah kasih secara cuma-cuma. 

Di hari ayah yang sudah sangat terlambat ini, 

Bisa kan, kita berpelukan seerat-eratnya? seperti dulu?


Komentar

Postingan Populer