Din, kita pulang.


 

sekarang pukul dua lewat tiga puluh enam pagi.

sudah hari sabtu

dan diriku masih berputar-putar dalam piringan hitam berdebu

aku terdiam, sesekali menangis

entah apa yang membuat semuanya begitu magis

sampai-sampai aku bertanya pada lelaki di ujung lorong “di mana rumahku?”

dia menatapku pilu 

lantas berlalu

aku lupa bahwa aku tengah merayakan kesepian pada hidupku sendiri

setiap hari

setiap hari

aku tak pernah tahu caranya berpulang

sebab diriku tak benar-benar bersandar pada sebuah apa dan siapa

dewasaku tumbuh pada setiap jalan yang aku lewati 

pada setiap peluk yang menginginkanku ataupun tidak sama sekali

atau pada lembar-lembar tentang dua kekasih yang harus mengucap selamat tinggal pada paragraf terakhir

aku tak pernah tahu caranya berpulang

kepada apa

atau kepada siapa

sebab aku kehilangan diriku sendiri

lantas apalah arti berpulang jika tak kutemukan diriku disana?

walau terlalu sering aku berlari

dan bersembunyi

atau mengubur diri

aku tetap ingin berpulang pada tubuhku sendiri

Din, 

sudah saatnya kita pulang baik-baik

memaafkan apa-apa yang tak pernah menjadi milik kita

memeluk anak kecil yang mengurung diri pada ruang hatimu yang gelap

sudah saatnya kita berteman dengan tenang

yang padanya kita tak perlu jadi siapapun

yang padanya kita bisa menyisakan diri sendiri untuk jadi tempat berpulang

dan yang padanya kita bisa terus hidup

Din, 

sudah saatnya kita menyudahi perjalanan ini

kita akan pulang

ke diri kita sendiri.





Komentar

Postingan Populer