Hanum, perempuan, dan siulan

    


Menyoal perempuan, tak ada kata yang tak asing lagi didengar merujuk pada sebuah kebebasan. Pagi itu, di rute biasa Hanum berlari-lari kecil selama kurang lebih setengah jam, tepat di pengkolan jalan tersebut Ia temui kumpulan lelaki paruh umur yang tengah duduk-duduk santai dengan sarung yang tersampir asal di pundak. Hanum menatap kumpulan itu sesaat, Ia tak akan takut lagi, sebab, ini sudah berulang kali dan justru membuatknya muak. Tapi, perasaan perempuan mana yang sekuat baja dilecehkan berkali-kali walau hanya sebatas siul-siul tak jelas?

    Hanum melangkahkan kaki tak lagi gentar, napasnya naik turun, entah akibat berolah raga tadi atau karena ada rasa marah yang tak pernah ia keluarkan. Kumpulan itu berisi 4 orang, Ia berhitung cepat, siapa tahu-siapa tahu, Ia berusaha mengandalkan ingatannya jika saja ada hal kurang mengenakkan terjadi hari ini. Sebenarnya entah sudah berapa kali Ia menyuarakan keengganannya disiuli atau dikomentari perkara tubuhnya dan berlembar-lembar pakaian yang menempel pada tubuhnya. Sopan atau tidak sopan, seksi atau tidak seksi rasa-rasanya tak ada batasan antara keduanya. Semua melebur jadi satu hingga melahirkan sebuah ambiguitas yang membuatnya pening ketika harus adu mulut dengan para lelaki yang kerap Ia temui di gang-gang kecil seperti ini. Yang perlu Ia tekankan adalah, tak ada kebebasan bagi para perempuan. 

    Cuit-cuit

    Hatinya melengos, jatuh begitu saja ke tanah. Telinganya tak asing lagi mendengar kata itu. Mukanya merah padam, lagi-lagi, entah karena habis berolah raga atau memang amarahnya sudah naik hingga ke muka. Hanum tak berkomentar apapun. Matanya menatap tajam ke arah kumpulan laki-laki berumur itu. 'Sudah berumur begini apa tidak malu sama anak dan bininya?' batinnya geram.

    "wah pagi-pagi gini liat yang seger lewat jadi bikin semangat!"

    "sini neng duduk dulu, sambil ngopi pagi"

    "Pantesan badannya oke, wong rajin olahraga gini"

    Apanya yang seger? memangnya Ia es buah? salah satu hal yang tak pernah lupa Ia pertanyakan adalah, mengapa perempuan kerap kali diasosiasikan kepada benda-benda yang menurutnya sungguh menyakiti hati. Ia bukan benda, Perempuan-perempuan di luar sana juga bukan benda. Perempuan punya nilai yang sama dengan Laki-laki. Nilai sebagai seorang manusia. Hanum kini berdiri tegak di depan kumpulan itu. Entah apakah Ia benar melakukan ini atau tidak tapi yang jelas nuraninya menyuruhnya melawan. Melawan agar setidaknya banyak diri perempuan di luar sana yang terselamatkan walau mungkin tak seberapa. 

    Hanum mengatur napasnya, "Bapak-bapak sekalian. Terima kasih tawarannya. Tapi sepertinya saya merasa tidak ditawari dengan hormat karena sejak tadi saya disiul dan itu jelas membuat saya tidak nyaman. Ini namanya pelecehan, Pak. Tak banyak perempuan yang dengan lantang dan baik-baik ngomong seperti saya, banyak perempuan di luar sana yang justru trauma dan tak berani keluar rumah hanya karena bapak menganggap ini adalah hal yang wajar dan lumrah" 

    Dari sudut matanya, Ia bisa melihat gerak-gerik yang tak nyaman, Ia kemudian melanjutkan "Tolong banget pak setelah ini mohon lebih bijak dalam berbicara. Perempuan itu manusia pak, sama seperti bapak semua. Jadi perlakukan mereka dengan layak seperti halnya bapak ingin diperlakukan. Permisi."

    Hanum berbalik, melangkahkan kakinya dengan tegas dan pasti. Ia tak tahu jelas seperti apa raut-raut wajah itu. Tapi yang jelas, Ia bisa merasakan kelegaan yang selama ini hanya tertumpuk dalam tubuhnya. Kebebasan setitik yang ia rasakan ini tak bisa didapatkan secara cuma-cuma oleh perempuan-perempuan lain di luar sana. Di jalan pulang, terbesit kesedihan dalam hatinya. Matanya memanas, bulir-bulir itu telah siap untuk terjun bebas menyuarakan betapa Ia sebetulnya sedih dan tak kuat. Kebebasan, apalah itu sebutannya, adalah jalan panjang tak bertepi yang tak mungkin Ia dapatkan secara cuma-cuma. Langkahnya masih terlampau jauh, tapi setidaknya Ia tak lagi kalah dalam merebutkan kebebasannya dalam bersuara. 

***

sepenggal cerita di atas mengandung unsur pengalaman pribadi. Aku yakin bahwa masih banyak pengalaman-pengalaman tak mengenakkan terhadap perempuan yang terjadi di luar sana. Ini hanya sepenggal dan berjuta-juta narasi terkait pelecehan yang mungkin tak sanggup aku baca. 


Komentar

Postingan Populer