Mencatat jingga


Sesaat sebelum semuanya sempurna menjingga, aku tertatih-tatih menaiki anak tangga menuju balkon rumah milik bu sekdes tempatku mengindung selama kkn sebulan kedepan. Aku berhasil mancapai atas, dengan kamera di tanganku, aku menatap lamat-lamat pemandangan itu melalui lensa kamera. Masih ada kelabu di sana, sempurna menciptakan efek magis di langit sore itu. Jingga pertama di hari kedua aku menapaki tempat ini. Tak banyak yang bisa aku ceritakan, sebab, selalu berseliweran kenangan-kenangan tak bernama yang selalu membawa pulang jingga padanya. 

Pandanganku menatap lurus ke cakrawala, menyaksikan perlahan-lahan semuanya sempurna berwarna pekat, dan tak kutemui lagi setitik jingga di sana. Ada banyak narasi tentangnya, baik yang kubaca maupun kudengar dari desas-desus tetangga, bahwa tak semua orang menyukai pemandangan ini. Dan memang benar, tak semua hal yang kita sukai dapat diterima secara gamblang oleh orang lain. Aku memahami itu, walaupun separuhku meronta-ronta.

"Sesaat jingga bermunculan, waktunya kita menyudahi semuanya, dan aku harus pulang ke rumah."

Ketika masaku menjadi anak kecil, aku ingat betul ketika sore tiba dan langit sudah menunjukkan tanda-tanda menjingga di atas sana; aku tak pernah senang, sebab harus menyudahi permainan hari itu dan buru-buru kembali ke rumah. Aku tak pernah mengelu-elukan jingga seperti saat ini. Masa kecil dan dewasaku rupanya mengalami perubahan yang drastis. Apa mungkin aku tak lagi punya banyak teman seperti dulu? sehingga aku tak menyukai perpisahan dan kembali ke rumah? 

Tapi aku ingin mencatat baik-baik semburat jingga yang membuatku tenang hanya sekedar menatapnya hingga ia pulang ke peraduannya di kaki bukit. Hanya ada aku dan perasaanku yang berkecamuk riang gembira. Ada seutas sedih yang terbayarkan walau tak sampai lunas. Ada bahagia sebab aku bisa terus menatapnya tanpa harus pulang kemana-mana. Tak seperti itu, saat aku membenci jingga karena aku harus sendirian lagi. 

Siapapun bisa membuat narasi sedemikian rupa mengenai jingga. Tak apa tak suka, dan tak apa pula jika kau menyukainya dengan sangat. Tak ada yang salah, walau keduanya menghadirkan kesendirian yang sama, bukankah hidup memang tentang memilih? 

Komentar

Postingan Populer