pada dunianya; ia hampir mati berkali-kali


 Tuhan, separuh duniaku hancur berkeping-keping. Aku kelelahan memungutnya kembali. Terlalu lelah.

Ini bukan tentangku. Bukan tentang duniaku yang biasa-biasa ini. Melainkan tentang seorang teman dekat yang separuh tentangnya ada pada diriku. Aku benar-benar tak tahu harus mulai dari mana, yang jelas aku merasakan redup yang semakin menjalar pada dirinya. Ini fase yang harus dia lewati lagi. Dan aku akan ikut serta berada di sampingnya walaupun tak bisa kuhadirkan diriku secara fisik di sana. 

Aku menyaksikannya melewati fase ini dengan hati yang tersayat-sayat. Menyakitkan membaca pesannya yang lagi-lagi berotasi pada keinginannya mengakhiri semua hal dalam hidupnya. Aku mendapati redup itu yang semakin menjadi-jadi. Bermuara pada sesak yang tak akan bisa kau hindari. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak bisa ada di sampingnya. 

Dan itu menyakitiku, berkali-kali. 

Aku tak pernah membayangkan sebelumnya berada pada dunia yang seperti ini. Namun terasa sangat jelas ketika pada akhirnya aku mencoba menggandeng tangannya seerat-eratnya. Dia seperti membuka dunia baru untukku; satu untuk kutinggali, satu lagi untukku belajar berenang di samudera luas. Dia membuatku kembali belajar, dan akan terus belajar, tentang hidup yang tak melulu berwarna-warni dan membuat bising. Tapi ia kenalkan aku pada dunianya yang...

...penuh sesak oleh kesendirian. 

Ada beberapa momen saat aku tak bisa menembus pintu manapun dalam dunianya. Entah karena aku yang terlalu egois atau kekalutan itu tak bisa lagi aku bendung. Aku seperti kehilangan ritme hidupnya, dan aku tertatih-tatih mengejarnya, menarik tangannya sebisaku, mendekap tubuh rapuh itu. 

Bagian tersulit untuk membuat semua tentangnya bisa diterima dengan luwes oleh diriku adalah bagaimana bisa  ia menganggap kematian layaknya dunia yang lebih layak untuk ia tinggali? bagaimana bisa ia memeluk semua kesendirian ini sedang aku terduduk kaku tak bisa berbuat apa-apa? bagaimana bisa ia berteriak ingin mati tepat di depanku?

Hatiku hancur berkeping-keping. Tak kuasa aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Aku tak pernah sanggup hidup dalam dunianya, menyaksikannya saja membuatku sakit. Dan hal ini harus ia alami sendiri. 

Sendirian.

*

"De, aku disini. Pegang tangan aku kuat-kuat, ya? Tunggu sebentar lagi, jangan kalah dulu. Jangan. Tolong, jangan. Kita lewati ini sama-sama, sekali lagi."



 


Komentar

Postingan Populer