syan, java, dan kehilangan




Banyak yang aku harapkan dari perjalanan tidak terlalu singkat ini di kota enam tahunku, Solo. Aku bahkan sudah merancang baik-baik sejak kereta mataram pukul 3 dini hari itu melaju kencang di jalannya. Aku tak bisa dengan gamblang menamai perjalanan ini sebagai upaya menikmati kesendirianku, atau upaya-upaya menyembuhkan luka seperti kebanyakan orang membicarakannya. Bukan. Ini perihal menyesap satu kopi ke kopi lainnya; yang menyisakan asam di tenggorokan dan lambungku, bisa pahit, bisa tiba-tiba terkesan buah-buahan, atau juga sedikit 'nutty'.  

Kopi pertamaku mendarat pada sebuah coffee shop kekinian yang pernah aku jumpai di Jogja kala itu, Couvee. Suasanya tak jauh-jauh dari nuansa putih dan kelewat nyaman. Kelewat nyaman karena menghadirkan konsep ruang ber ac disertai bebas rokok di dalamnya. Kalau begini berputung-putung rokok bisa kandas hanya dalam sekali duduk. Tapi waktu itu, dengan dua gelas Java di meja kotak itu, beberapa kisah menguar begitu saja seiring dengan terhirupnya asap rokok yang mampir ke indera penciumanku. 

di ruangan kelewat nyaman itu, justru ada cerita penuh ketidaknyamanan yang hadir dari bibir getirnya. Ia masih mengalami mimpi buruk. Malam-malam penuh peluh, realita yang memaksanya untuk terus maju, serta tubuhnya yang terkadang menolak untuk bergegas, dan memilih untuk tidur saja. Aku menatap mata sendunya yang sudah kelewat berair. Sedetik kemudian bulir-bulir itu mengalir bebas di wajahnya. Di momen ini, napasku kembali tertahan. Rupanya, kehilangan tak bisa dengan mudah kita tepis begitu saja. Waktu bisa saja membawa pergi namun kenangan di dalamnya masih tampak nyata di ingatan bahkan di saat-saat terakhir sosok itu sempurna pergi. Ia masih berduka, aku paham itu. Dan perjalanan menerima duka tak semudah yang dibayangkan. Semua butuh lebih banyak waktu, dan Ia pun begitu.

Satu hal yang bisa aku bawa pulang pada ingatanku adalah, bahwa fase kehilangan menghadirkan datang dan perginya sesuatu atau seseorang dalam hidup. Kehilangan bisa membawamu pada ruang yang begitu asing sebab tak hanya kehilangan orang yang dicinta tapi nyatanya kita kerap kali kehilangan diri sendiri. Ada bagian dari rutinitas hidup yang lenyap begitu saja. Pada cinta dan rindu yang menggebu-gebu, seketika tak lagi bisa dirasakan kehadirannya. Ia menciptakan sebuah disfungsi pada tubuh yang menolak untuk membangun rutinitas baru di lembar kehidupan selanjutnya. Kehilangan membawa kita membangun tembok teramat tinggi. Agar kita mengasing, lalu ikut menghilang. 

Syan, kehilangan memang pahit rasanya. Takaran kita pasti tak akan pernah sama, tapi kehilangan punya jalan baik dengan beri kita ruang lebih banyak untuk pelan-pelan menata lagi. Apa-apa yang pergi memang sudah seharusnya berangkat lebih dulu. Apa-apa yang pergi boleh kita rayakan sesekali saja. Tak apa. Sungguh tak apa. 

Pada tenggak terakhir segelas Java yang kami pesan, cerita hari itu kami sudahi. 


Komentar

Postingan Populer