setengah kombucha, dan sepiring kue khas prancis; aku menulis sebuah surat.


 Lagi-lagi untuk Syan, 
; teman menertawai jalan hidup yang tak pernah waras.

Seminggu sudah tuntas, tapi masih banyak kata-kata yang berseliweran di dalam otakku. Kamu bisa melihatnya di beberapa hari terakhir aku terduduk hingga lepas lewat tengah malam, sembari menghabiskan segelas loske di tanganku, aku menulis beberapa hal tentangmu; tentang sepenggal kisahmu setelah perayaan kepergian itu. Tentang tangis-tangis kecil dan kesulitan tidur ketika malam dan kesendirian menghampiri.

Syan, aku tak pernah menyuruhmu untuk pulih secepatnya. Aku tak akan pernah menyuruhmu untuk bergegas dari keenggananmu melupakan ini semua dan hidup baik-baik saja. Aku, sekali lagi, tak akan pernah memaksamu untuk merayakan perihal kehilangan ini dengan senyum merekah dan hati lapang. Aku tahu, hatimu mungkin saja masih remuk. Sakit hati, sejujurnya, tak akan pernah ada obatnya, selain…melepaskan. 

Kayaknya, dan entah sudah berapa banyak percakapan-percakapan melahirkan diskusi panjang mengenai lepas-melepaskan. Aku masih ingat kala itu, di kamar lantai dua milikku, kita terdiam. Aku sesekali mendengar isakmu di sela-sela kita membicarakan perihal kehilangan itu dengan serius. Hatiku tergores puluhan kali, bahkan hingga aku sulit menghitungnya. Napasku naik turun tak karuan, melihatmu berderai air mata, aku rasanya ikut hanyut dalam tangismu. 

Syan, hidup tak ayal panggung sandiwara. Semua bergegas menutupi kesedihan yang bahkan tak bisa lagi ditampung oleh tubuhmu sendiri. Kamu butuh teman, dan semua makhluk di dunia ini kurasa butuh ditemani. Maka biarkan aku masuk dalam dunia rumpangmu supaya bisa kita penuhi sama-sama lagi. Biarkan kerungsingan hidup membuat kita hampir gila dan kehilangan gairah untuk bangun esok pagi. Biarkan mulut-mulut mereka menertawai kita sebab kita akan menertawainya kembali sampai perut sakit. Kali ini, beri ruang lebih banyak untuk hatimu memaki dan merutuki segala hal dalam hidup, sehingga pada langkah selanjutnya mudah bagimu menanggalkan apa-apa yang dulu pernah mengikatmu. Aku disebelahmu, kamu masih melihat jelas kaki-kaki kita yang berjalan bersisian. 

Selepas ini, aku ingin bahagia sesekali mampir berwujud senyum dalam wajahmu. Sebagai penanda bahwa hidup tak melulu menyoal pada ketinggalan jadwal kereta, ketidakpastian tujuan kemana harus pulang, serta kehilangan teman berbicara yang menyenangkan. Syan, apa-apa yang dipersilahkan pergi dari kita memang sejatinya tak pernah menjadi milik kita, bukan? kita sibuk membuat pernyataan rumit seolah separuh dunia adalah milik kita. Kita selalu sibuk memperkarai apa-apa yang bukan milik kita, walau pernah singgah, dan kita hanya jadi rumah-rumah kecil tempat berteduh, tapi setidaknya, pernah,  jadi bagian kecil dari hidup yang perlu kita syukuri dengan penuh. 

Terakhir, aku tak bisa menjanjikanmu apa-apa. Tapi bisa aku pastikan telingaku akan siap untukmu bahkan di jam-jam seharusnya aku bisa tidur dengan pulas. Sudah kusisakan setengah waktuku untukmu. Kabari aku kapan saja, dan aku usahakan aku ada. 

Komentar

Postingan Populer