surat dari solo
Entah hingga umur keberapa aku tak lagi menjadikan keraton jadi tujuan yang harus aku singgahi. Entah perjalanan keberapa cintaku semakin menggebu-gebu pada kota ini. Ia sungguh tak bisa disandingkan dengan sibuknya ibu kota yang tak pernah membiarkan pikiranmu tenang barang sejenak. Ia sungguh tak bisa kau cocok-cocokkan dengan kota sebelah yang jarak tempuhnya dua jam dari sini. Kota ini membawamu pada hela-hela tenang yang terpatri pada jalanannya yang lengang. Pada hiruk-pikuk membahagiakan para penjual di pasar gedhe. Pada tutur halus tukang parkir yang lelahnya tampak jelas menggelayuti kedua matanya.
Aku ingin tinggal lebih lama. Sebab, cinta pertamaku tumbuh di kota ini. Aku ingin memutar waktu, merasakan kembali bagaimana mencintai seseorang dengan sangat. Aku ingin mengajaknya berbicara sambil sayup-sayup mendengarkan lantunan lagu jawa yang tak pernah ku ketahui maksudnya. Aku ingin mengajaknya berjalan pelan di sepanjang slamet riyadi yang tak pernah kosong penjual. Aku, ingin mengingatnya sekali lagi, walau hanya sebatas pada pikiranku.
Sesungguhnya, kota ini tak segemerlap kota lain. Hamparan sawah masih bertebaran sejauh matamu memandang. Langitnya, sebisa yang aku ingat, warnanya selalu pada biru yang aku sukai. Gedung-gedungnya tak ada yang melangit. Semua merendah, membumi. Itulah mengapa aku merindukan kota ini. Tak ada kata paling pada kota ini. Ia menyuguhkan kesederhanaan yang bisa dengan mudah kau temui pada senyum-senyum tipis orang asing di persimpangan jalan. Kota ini seperti peluk; menerimamu apa adanya sehingga kau betah berlama-lama menghirup aromanya yang begitu teduh. Siapapun bisa mengataiku berlebihan, sebab aku sudah dan akan jatuh cinta berkali-kali padanya.
Solo, di mana kisah cinta pertamaku dimulai dan berhenti, sesakit apapun itu, aku akan selalu punya tiket untuk datang kemari. Sampai jumpa di lain waktu, Solo.


Komentar
Posting Komentar