kita yang sementara


 

Aku mau pelan-pelan jadi perantara ilusi-ilusi dari puisi payahmu yang kamu ciptakan itu. Puisi yang hanya kamu tanam sendiri dalam kepalamu yang sesekali kutahu bahwa isinya sebagian besar selalu runyam. Walau pernah kuterjebak di dalamnya sementara. Sebuah sementara yang membuatku justru ingin memelukmu, memeluk puisi-puisi payahmu lantas membuatnya jadi ada. Aku mau ada di sana, dan kalau kamu izinkan, aku mau jadi yang paling mengerti kamu.

Apa jadinya kalau sementara itu benar-benar tak ada? 

Mungkin kita bisa terus jatuh cinta; seperti aku menyelami pikirmu dan kamu menggenapkan tulisanku yang selalu berakhir nahas. Aku memberi nyawa pada puisi-puisimu yang sebenarnya adalah lantunan do'a yang selalu kamu curangi. Ia terlalu indah, dan kamu tak pernah menganggapnya ada. Lalu ia mati dan aku ikut kamu kubur bersamanya. 

Apa jadinya kalau sementara itu sebenarnya hanya lelucon yang aku selip di sela-sela kopi ketiga? 

Mungkin kita bisa terus belajar jadi aku yang aku, dan kamu yang selalu kamu. Tapi kemudian aku sembunyi-sembunyi memerankan betapa bahagianya jadi kamu. Mencuri segaris senyum kelewat tipis itu, atau menyelinap pada teduh matamu yang dengan sungguh aku ingin tinggal lebih lama di dalamnya. Atau menjadi salah satu padanan kata yang kamu pilih entah pada puisimu yang keberapa. Aku mau ada di sana, tak peduli siapa yang akan meracau siapa. Sebab ada mu adalah penuhku.

Apa jadinya kalau sementara itu hanya sementara?

Puisimu tak lagi kesepian, dan tulisanku menemui tanda titik. 


Komentar

Postingan Populer