museum hari ini
Aku ingin menuliskannya cepat-cepat, secepat antara ingat dan lupa yang seperti kedipan mata. Sedetik kamu ingat, sedetik berikutnya kamu tiba-tiba lupa apa inginmu. Selalu seperti itu dan aku selalu menyesalinya. Aku suka memperhatikan sesuatu, aku suka percik-percik perasaan yang muncul tiba-tiba, aku suka perubahan perasaan itu yang tanpa aku sadari membentuk bulir-bulir air mata atau senyum merekah yang hanya aku seorang yang tahu, dan mengerti. Semua hal yang terjadi dalam hidupku, selalu ingin aku simpan dalam bentuk paragraf demi paragraf. Agar apa? agar aku tak lupa dan sebagai pengingat bahwa aku sedang berjalan. Dan akan terus berjalan.
Ini kali pertamaku menatap dengan takjub sebuah instalasi seni di museum milik pribadi seorang kolektor seni yang akrab dipanggil Wawan. Pameran seni yang tengah aku tatap penuh takjub itu adalah karya Aditya Novali dengan mengangkat tema berjudul Why, melalui karyanya, Aditya Novali sukses membuatku terpaku, bergidik ngeri, dan hampir menangis. Sebelum hal terakhir itu terjadi, aku cepat-cepat mengusap ujung mataku. Perlu diingat; aku seorang diri mengunjungi museum ini dan aku ingin menyimpan lekat-lekat kenangan ini.
Dari banyaknya karya seni yang lahir dari diri seorang Aditya Novali, aku berdiri lama di depan tujuh buah kotak persegi panjang yang terpajang rapih dan sejajar di dinding. Karya seni yang sama seperti gambar yang aku sematkan di atas tulisan ini. Tujuh buah kotak persegi panjang yang membuatku tanpa malu-malu meminta penjelasan lebih kepada pemandu museum tersebut. Aku tak tahu namanya, sebab selain tak kutanya, tak kutemukan tanda pengenal tersemat di bajunya. Dia menjelaskan sekali lagi, sama persis seperti rekaman video yang diputar beberapa menit sebelum tur karya Aditya Novali berlangsung.
"Yang Mbak lihat ini sebenarnya nggak berwarna sama sekali, Mbak. Coba sebentar ya..."
dia kemudian mengarahkan lampu flash handphonenya ke salah satu kotak persegi panjang itu.
Semuanya putih. Kosong.
Aku terdiam. Padahal dalam hati aku terkagum-kagum. Mana bisa? mana bisa yang kulihat barusan hanya sebuah warna putih yang sebenarnya hanya dinding dibelakangnya?
"Karya Aditya yang ini adalah sebuah cerminan saat kita memakai media sosial. Semua yang ingin kita tampilkan, semua hal yang ingin kita pertunjukkan pada orang-orang seperti ini warnanya. Padahal aslinya, diluar itu, kita ya seperti satu warna ini mba. putih."
"Karya-karya Aditya Novali ini memang semuanya berasal dari hal-hal yang terjadi di sekitar kita, Mbak. Jadi rasanya dekat, terhubung."
Dilihat menggunakan mata telanjangpun, karya seni itu, tujuh buah kotak persegi panjang yang membuatku megap-megap itu memang sebenarnya yang terjadi. Kita larut dalam media sosial dengan citra-citra yang kita buat. Citra-citra yang kita ciptakan dengan spektrum warna yang bermacam-macam. Dibilang membohongi, sejauh ini memang seperti itu nyatanya media sosial hadir di kehidupan sehari-hari. Kita sibuk membentuk seperti-apa-yang-orang-lain-inginkan daripada apa yang benar-benar kita inginkan jauh di relung hati kita yang paling dalam, yang suaranya jauh, yang suaranya kebanyakan tak pernah sampai ke permukaan.
Nyatanya, semua putih. warnanya hanya satu. Ya, putih. Tak kutemukan warna-warna lain di sana, setelah pemandu museum itu mematikan flash handphonenya semua seketika kembali seperti semula. Terlalu berwarna. Terlalu mengusik. Terlalu mengintimidasi. Sebenarnya dalam hidup, seperti layaknya kita menjalani hari-hari seperti biasanya, kita hanya perlu satu warna. Satu yang mencerminkan sebenar-benarnya kita. Satu yang seharusnya tak akan membuat kita kelimpungan. Satu yang tak perlu warna lain untuk menggenapkan. Karena satu warna itu, adalah satu yang penuh.
Lantas mengapa sekarang-sekarang ini kita menginginkan lebih dari satu warna? untuk kemudian kita pertontonkan ke orang lain? entah mungkin saling adu kira-kira warna siapa yang lebih beriak nyala. Atau mungkin siapa kira-kira yang memiliki koleksi warna lebih banyak aku atau kamu? Aku tak tahu jelasnya untuk apa, tapi yang terlintas di kepalaku bahwa kita, sebagai manusia, ingin pengakuan tak hanya pada satu dunia. Ada dunia tak kasat mata di luar sana yang juga ingin kita tinggali. Dunia maya yang di dalamnya kita tak lagi jadi diri kita, tapi jadi seolah-olah diri kita yang makin kesini tak kita kenali jelas seperti apa dia.
Kita hidup sebagai seperti-apa-yang-orang-lain-inginkan. Yang warnanya bertumpuk-tumpuk. Yang lambat laun kita, perlahan akan kehilangan dia.


Komentar
Posting Komentar