percakapan dalam kepala

 



Pagi ini kepalaku berteriak lebih kencang dari biasanya. Setelah kutenggak segelas kopi yang kupesan buru-buru di sebuah coffee shop tempat langgananku mengerjakan semua deadline penting nggak penting dalam hidupku, aku terduduk lesu. Sekitarku berceloteh panjang lebar, tentang anak-anak mereka, tentang biaya sekolah swasta yang lebih banyak melahirkan gelengan kepala daripada anggukan, walau setuju dengan fasilitas yang selangit itu tapi tidak dengan kantong-kantong mereka. Aku sesekali melirik meja di sebelahku, pura-pura merenggangkan badan dan kepala. Meja itu hanya berisi tiga orang, dua laki-laki dan satu perempuan. Salah satu laki-laki berkaos hijau absurd itu berbicara lebih kencang jadi kupikir meja itu berisikan empat orang. Dia bersuara dua kali lebih kencang. Saling beradu dengan berisiknya isi kepalaku sekarang. 
Sekarang mereka membahas macam-macam; properti, jadwal medical check-up, lagi-lagi membahas anak-anak mereka, lalu sekolah lagi, dan sekarang bisnis. Entah bisnis apa karena lagu yang tengah kudengar melalui earphoneku mendadak kencang. Mereka bertiga sekarang terdiam, hanyut dalam minuman mereka masing-masing. Kemudian salah satunya bangkit pergi ke kamar mandi, lalu disusul satunya lagi dan meninggalkan perempuan itu seorang diri menunggui meja. Aku tak bisa melihat jelas wajah perempuan itu, tapi sepertinya ada gurat-gurat keturunan chinese di wajahnya; Matanya yang sipit, bibirnya yang tipis, kulitnya yang putih bersih. Selebihnya aku tak tahu. Seperti, apakah alisnya lebat atau justru hanya selewat pandang saja, atau apakah kelopak matanya masih tetap monolid atau justru sudah menggantinya menjadi  model downturned eyes. Penglihatanku tak sampai ke sana. 
Mereka sempurna pergi, tak ada berisik percakapan mereka, semua sempurna lenyap. Kemudian aku mengunjungi kepalaku, rupanya di dalam sana masih sama runyamnya ketika aku memasuki coffee shop ini. Kita bisa tahu apa saja yang orang lain tengah bicarakan, berisiknya juga tidak beda jauh, dan aku bisa dengan mudah menangkap pembicaraan mereka, menyusunnya, kemudian menyimpulkan secara garis besar. Aku tahu anak-anak mereka tengah kesulitan mencari sekolah yang sesuai, baik dari segi biaya, fasilitas, serta akses yang memudahkan mereka sehingga waktu mereka lebih efisien. Tapi lihat, semua tak ada mudah-mudahnya ketika aku menatap lurus ke dalam kepalaku. Mereka masih saja saling adu perihal masalah masing-masing. Salahku tak pernah mengajak mereka duduk bersama di meja makan, seperti yang selalu dilakukan Bapak ketika kami semua melakukan hal yang menyenggol batasannya. Padahal bagi kami semuanya baik-baik saja, toh tidak ada yang dirugikan. Tapi Bapak tetaplah Bapak; disiplinnya, keras kepalanya, aturan-aturan jawa kunonya, tapi juga seorang penyayang. 
Perlahan, satu per satu suara dalam kepalaku tak seramai tadi. Aku melihat cemas masih ada di sana entah kali ini apa yang tengah ia pikirkan, padahal minggu lalu kami sudah bicara baik-baik, empat mata, dari hati ke hati, tapi tak apa, aku juga sadar bahwa semakin bertambahnya umur, cemasku selalu mengikuti dibelakang. Dia mengadu soal masa depanku, ia khawatir padaku, katanya kalau aku masih saja mengikutsertakan kisah cinta bertepuk sebelah tangan itu ke masa mendatang, aku akan sukar membuka pintu-pintu dalam rumahku. Padahal cahaya perlu masuk ke dalamnya, supaya aku bisa melihat dengan jelas apa-apa yang seharusnya bisa aku lepaskan dan aku bawa bersamaku. Tak lain dan tak bukan agar cemasku tak semarah sekarang. Ia juga mengutarakan perihal apa yang harus aku lakukan selepas lulus dari bangku sekolah ini. Ia membisikiku, sudah empat tahun, apa nggak mau jalan-jalan ke tempat lain? Bagiku, bisikannya terdengar memilukan. Aku yang memilih masih di sini. Aku yang memilih memperlambat gerak kakiku. Tak kuhiraukan cemasku yang semakin memberontak. 
Aku mengedarkan pandang, setelah satu jam lebih kudengarkan cemas berbicara panjang lebar dan aku harus mendengarkannya lamat-lamat, kudapati mataku tertuju pada sesuatu di ujung sana. Jauh dari keramaian, ia memilih menyendiri. Kudekati ia perlahan dan tiba-tiba tubuhku melemas begitu saja, seperti tanda-tanda asam lambungku naik ke permukaan diikuti dadaku yang memanas. Aku menemukan ia, satu dari sekian banyak hal yang berkecamuk dalam kepalaku. Ia adalah kesepian, yang suaranya justru menulikan telinga. Aku duduk tak jauh darinya, kurasa ia tahu kedatanganku dan aku menunggunya sampai ia mau berbicara denganku. Kesepian adalah satu diantara banyak dari mereka yang selalu aku tolak kedatangannya, pengabaianku terhadapnya perlahan-lahan membentuk gundukan emosi yang sewaktu-waktu bisa meledak kapan saja. Aku menciptakan bom waktuku sendiri. Cepat atau lambat. 
Tak ada untung-untungnya kamu mengabaikan aku. Ia membuka suara, suara paraunya yang khas. Tak sama seperti cemas dan yang lainnya, kesepian punya suara sendiri yang membuatku duduk diam tak berkutik. Aku tak mengelak, karena semua perkataannya benar tentangku. Aku mendorong jauh-jauh rasa sepi yang hinggap dalam hidupku beberapa tahun terakhir ini. Semua berasal dari akumulasi perayaan-perayaan kematian yang terjadi dalam dua tahun berturut-turut. Suaraku tercekat, kurasakan desak panas dari ujung mataku. Aku mau menangis, tapi menangisi apa lagi? Masih kudengarkan kesepian bercerita. Ia menyadarkanku bahwa kesepian selalu terdengar menakutkan. Aku tahu, pun ia. Kesepian membuatku hampir gila, hampir mati, hampir membuatku justru kehilangan siapa diriku. Sebab rasanya aku tak bisa hidup hanya dengan diriku seorang. Kenapa harus ada sepi sedang kita bisa mencipta ramai walau tak seberapa itu? 
Aku menatapnya dan ia menatapku balik. Tak sama seperti cemas dan yang lainnya, kesepian punya tatapan teduh tapi justru lebih kejam. Tatapan teduhnya seakan ia mau aku menerimanya dengan lapang, dengan pelan-pelan, dengan hati yang ikhlas. Menerimaku adalah jalan paling baik, tak hanya bagimu, tapi bagi semua yang hidup. Aku menangis. Tergugu dalam tangisku yang tak pernah kubiarkan keluar sesering dulu. Sesak menyelinap, mengisi tiap celah dalam hatiku. Selama ini aku mendorong ia sejauh mungkin, tapi sekarang aku mau dekap ia erat-erat. Kesepian itu harus aku terima agar ia tak lagi menulikan telingaku. Ia hanya ingin ruang untuk aku pahami, dan kutahu waktunya tak sebentar. Aku menggapai tangan kecilnya, kuharap ia tak meninggalkanku sendirian, dan kudengar janjinya terakhir sebelum aku keluar dari kepalaku; Kita lewati ini sama-sama. Jangan takut. Aku disampingmu, selalu. 
Semua seketika hening. kuedarkan pandang ke sekelilingku, rupanya aku masih seorang diri di sini, di deretan meja paling dekat dengan bar, sehingga sesekali kudengar jelas apa-apa saja yang orang pesan. Dua perempuan memenuhi kasir dan kutahu mereka memesan salah satu dari menu baru di coffee shop ini. Tadinya aku mau itu tapi pilihanku tetap pada kopi. Sekarang berganti pada sepasang entah pacar atau suami istri atau hanya partner kerja yang salah satunya tengah mondar mandir memilih tempat duduk. Mereka memesan antara macchiato atau vanilla latte. Menu langganan yang kupesan sebelum aku menetapkan pilihanku pada cold brew. Aku menenggak kopiku yang sudah tinggal setengah itu, tak lagi kudapati pahitnya bersemayam di sana melainkan hanya sisa-sisa es batu yang mencair dan membaur di dalamnya. Kopiku sudah tak berjejak dan kusudahi ketikanku disini. 

Komentar

Postingan Populer