kamar tidur yang menjelma asing
Beberapa kali aku menatap langit-langit kamarku yang warnanya terlalu ramai dan berantakan itu. Entah apa yang ada dipikiran pemilik kos ini ketika memilih mereka semua ini, sungguh tak menyatu sama sekali, dan kerap membuat mataku sakit. Tapi beberapa hari terakhir ini aku memaafkan mereka. Kutatap mereka lebih lama, dengan tatapan kosong, tatapan yang tak tahu tujuannya akan kemana. Tapi kurasa mereka menerima tatapan kosong dan sedikit nanar itu, mungkin kalau mereka bisa berbicara kurasa yang keluar adalah ibaan. Kasihan melihatku berteman akrab dengan banyak kesepian. Tapi untung mereka tak bisa berbicara, aku pasti sudah mati kutu di depan mereka.
Beberapa hari terakhir ini, kurasa ada yang janggal dengan kamarku. Biasanya aku bisa tidur dengan nyenyak dibarengi dengan mimpi-mimpi menyenangkan, tapi tidak dengan tiga hari ini. Belakangan, aku mendapati leherku mengumpat, mungkin kesal karena aku salah bantal, dan badanku yang juga ikut-ikut berteriak jadi kupikir aku salah posisi tidur. Kepalaku juga sering tak karuan, gaduh gitu rasanya, kayak di dalam sana lagi ada ajang mencari teriakan siapa yang lebih kencang. Aneh sekali rasanya. Seperti tengah berhadapan dengan orang asing.
Lantas pikiran itu berkecamuk dalam otakku, rasa-rasanya kamar tidurku tengah melakoni orang lain. Entah siapa yang menjauhkan siapa, entah siapa yang menaruh keengganan lebih banyak, tapi setelah kupikir-pikir, sepertinya itu semua ada padaku. Aku tahu seluk beluk kamar tidurku, bahkan ubin mana yang coraknya lebih nyala ketimbang yang lain aku tahu persis letaknya. Aku tahu di mana keluarga laba-laba itu menyulam jaring-jaring mereka dan menjadikannya rumah, itu persis terletak di pertemuan dinding kuning dengan dinding merah muda dekat kasurku. Tapi tiba-tiba saja, sebanyak yang mampu kuingat, dia tiba-tiba jadi asing. Kamar tidurku menjelma jadi orang lain. Ah, asing sekali.
Atau karena kebiasaan baru-baruku yang meninggalkannya dari siang lalu baru bisa berjumpa lagi lepas jam sembilan? Tak lagi menyapunya sesering dulu? Tak lagi menyemprotkan wewangian ke penjuru ruangan? Atau karena barang-barangku selalu berseliweran kesana-kemari seperti bukan aku, sebab aku sedang pusing-pusingnya menghadapi sesuatu yang bernama skripsi itu? Kurasakan ia jadi orang asing seperti yang kutemui di bis-bis menuju tanah abang dulu. Kami cuma bisa diam. Tak tahu apa yang sekiranya pantas dibicarakan. Memilih-milih akhirnya pusing sendiri. Paling-paling berakhir jadi tahu dari mana dan mau ke tujuan mana. Soal nama, itu kesepakatan paling mutlak yang tak akan bisa keluar dari kami. Nama tak bermakna apa-apa, sebab setelah turun dari bis-bis itu, kamu akan lupa nama mereka. Jadi biarkan mereka tetap asing pada tempat-tempat mereka.
Dan aku asing dengan kamar tidurku sendiri. Sungguh aneh dan menyedihkan. Sebab kamar ini adalah satu-satunya hal yang membuatku seakan-akan tengah berada di rumah; di kamar lantai duaku, di kamar yang wangi lavender itu.


Komentar
Posting Komentar