di dunia yang bulat, kita dikotak-kotakkan


 

Hidup di tengah-tengah gempuran informasi yang datang dan pergi secepat kilatan cahaya ini kian memaksa satu per satu dari tiap diri manusia untuk turut bergerak dan ikut andil di dalamnya. Tak mau tahu berapa kali kau harus berhenti untuk mengisi bahan bakarmu. Tak mau tahu kau tiba diurutan keberapa. Tak mau tahu apapun perasaanmu saat itu; senangkah? bahagiakah? terpurukkah? entahlah, ia sudah seperti monster yang menakutkan lantas bersembunyi di bawah kolong tempat tidurmu.

Aku sesekali takut tinggal pada duniaku sendiri. Dunia yang dikatakan bulat ini, dengan batas-batas yang tak terhingga, justru membentuk hidupku serta orang-orang yang tinggal di dalamnya memiliki sudut-sudut yang terlalu lancip. Ia tak lagi bulat, ia sudah lama menjadi bidang baru, memiliki sudut, ia mengotak.

Yang ingin aku utarakan disini adalah betapa sulitnya bergerak di masa sekarang. Aku tak tahu sejak kapan aku menyadarinya dan semakin membuatku tak nyaman pada ruangku sendiri. Kalimat "Dunia yang bulat sedangkan kita semakin mengotak" ini adalah sebuah kiasan yang kuberikan pada situasi saat sekarang. Perbedaan yang dimiliki tiap manusia yang tinggal di dalamnya tak mampu lagi dijadikan pemakluman. Kita dipaksa untuk 'sama'. Kita dipaksa untuk berada pada jalan yang sama dengan langkah kaki yang harus sama lebar. Kita dituntut untuk saling menduplikat satu sama lain dan menjadikannya beranak pinak, semakin mirip, semakin harmonis, katanya. Tapi bagiku, itu menyiksa. Di dunia yang seharusnya bulat ini, sudut-sudut di dalamnya semakin mencekik. 

Dunia ini diciptakan hanya untuk manusia-manusia dengan tanda lahir "ekstrovert". Ini adalah salah satu perbedaan paling bisa kurasakan dan dekat dengan kehidupanku, maka dari itu kucoba untuk menuliskannya disini sebab aku sudah semakin resah. Jujur saja, aku sudah muak dengan berbagai macam konstruksi-konstruksi sosial yang menjunjung tinggi kelompok ekstrovert ini. Bahwa mereka akan lebih langgeng hidup di dunia, mereka yang berperan penting pada perubahan, mereka yang akan mendapatkan kenikmatan hidup lebih banyak ketimbang saudaranya yang lain, si introvert. Konsep meng-elu-elukan si ekstrovert ini semakin mendarah daging dan terinternalisasi terus-menerus hingga kita lupa bahwa dunia tak hanya berputar padanya.

Kita jadi kian lupa melirik si introvert. Menanyakan kabarnya. Menjadi teman mendengarnya sebab yang lain sudah terlalu sibuk dengan si ekstrovert. Seseorang pernah menyinggungku menyoal ini. Ia bilang kasihan sekali ya orang-orang introvert ini, temannya sedikit, mereka semakin menyendiri, kalau begini terus gimana dia bisa eksis di dunia? kurang lebih seperti itu. Aku menarik nafas. Panjang sekali. Seperti salah sekali terlahir sebagai introvert. Ruang geraknya dipersempit, perbedaannya semakin terlihat jelas. Semua orang mengasihani si introvert padahal mereka sendiri yang menjadikannya demikian. Sekali lagi kukatakan; Di dunia yang seharusnya bulat ini, kita justru semakin dikotak-kotakkan. Kita jadi lupa bagaimana menghargai perbedaan dan berjalan beriringan dengannya. Kita mencari-cari celah untuk menyudutkannya lebih dalam lagi dan tinggal dengan idealisme kita masing-masing. Dan bagiku, itu jahat sekali. 

Ada banyak orang yang hadir dalam hidupku dengan tanda lahir sebagai seorang introvert. Mereka mengeluhkan betapa sulitnya bergerak ditengah-tengah kelindan manusia yang selalu mengharapkan pribadi yang lain. Menyuruh mereka menjadi yang bukan diri mereka. Memaksa mereka keluar dari rahim yang berbeda. Menarik-narik mereka sedemikian rupa sehingga banyak dari mereka yang memilih untuk berhenti dan menciptakan dunia mereka sendiri. Miris mendengarnya. Kesulitan yang tidak seharusnya mereka dapatkan hanya karena mereka terlahir introvert. Oh, sungguh ini tidaklah adil. Lantas langkah yang bisa kulakukan untuk terus menghidupkan mereka adalah dengan pelan-pelan memberi pengertian bahwa perbedaan ini nyata adanya. Kita perlu belajar menerima. Menerima bahwa mereka yang terlahir introvert ini punya hak yang sama sebagai manusia. Untuk diperlakukan dengan adil, untuk dilihat secara utuh, untuk sama-sama merasakan hidup yang layak. 

Di dunia yang seharusnya bulat ini, alangkah indahnya jika kita tetap menjadikannya buat tanpa harus mengkotak-kotakkannya. 

 

Komentar

Postingan Populer