pulih bukan berarti lupa


Hidup, bagiku, layaknya kotak pandora berukuran besar. Banyak hal di dalam sana yang entah kapan akan terbuka dan ia tetap berdiri di sana menyaksikanmu tergugu dalam rasa penasaran. Terlalu rahasia ini menjadi keterkejutan tak berakhir hingga waktu yang tak bisa ditentukan. Dalam perjalananku, mengumpulkan banyak kotak-kotak pandora yang berserakan di simpang jalan atau bahkan di jalan-jalan setapak yang sepi di hidupku, satu per satu kotak itu kemudian membuka diri dan mulai bercerita padaku tentang apa saja yang mereka alami di dalam sana.

Manusia-manusia di sekitarku tak henti-hentinya datang dan pergi dalam rentang waktu yang berbeda-beda. Lama perjalanan mereka hingga sampai pada kursi yang sama denganku tidak serta merta menjadi tolak ukur apakah cerita mereka berhak kudengarkan atau tidak. Lama atau sebentarnya perjalanan-perjalanan itu kuyakini penuh berisi berbagai macam kenangan yang sesekali, di waktu yang mereka rasa tepat, mereka tinggalkan di tengah jalan. Kegemaranku mendengar lebih banyak menjadi ruang tanpa batas bagiku untuk belajar perihal hidup beserta segala rupa manusia di dalamnya.

Mereka yang datang padaku separuh dunianya terlalu banyak goresan luka-luka yang tak semuanya bisa kuterjemahkan. Luka-luka yang semula kecil itu banyak diantaranya yang menjelma menjadi lubang hitam tak berdasar sehingga ketika dirimu terjatuh ke dalamnya, kau benar-benar akan tenggelam. Aku mendapati mereka mengutarakan dengan jujur bahwa yang ada di hadapanku sekarang bukanlah mereka. Mereka sudah mati berkali-kali dan tenggelam di dalamnya. Bahkan jauh sebelum bertemu denganku. Mata mereka yang menerawang lurus entah pada apa, sesaat menyelipkan rasa miris dan sesak bertubi-tubi. Dalam sesi dengar mendengar ini, mataku selalu tertuju pada kedua bola mata mereka yang kuharap masih ada satu titik cahaya di sana. Aku bersikeras menemukannya. Aku mau kembali menemukan mereka. 

Walau mendengar adalah salah satu keahlianku, ada ribuan suara yang mencuat dibanyak tempat dari tiap-tiap tubuh mereka yang suaranya begitu lirih di telingaku. Dari kedua mata mereka yang seringkali kudapati nanar di dalamnya. Dari hidung mereka yang mengeluarkan hela nafas kekalutan. Dari bibir tipis mereka yang semakin lama semakin kebingungan perihal jenis senyum apa yang harus tersungging di atas sana sebab mereka sudah terlalu lama berpura-pura. Itu semua adalah suara yang tak lagi bisa dijangkau oleh telinga, melainkan melalui hati. 

"Din, kapan ya semua ini berakhir?"

"Salah ya kalau aku mau damai sebentar saja?

"Waktu bisa saja menyembuhkan, Din. Tapi nggak untuk lupa. Selagi aku masih bisa nafas, melangkah ke tahap selanjutnya, terlihat baik-baik saja, tapi kepalaku masih ingat, Din. Dia selalu ingat. Dia nggak akan lupa apa-apa"

Betapa...berisiknya mereka. Kepala-kepala mereka. Satu kepala yang menyimpan ribuan suara, yang selalu berebut minta didengarkan. Suara yang menuntut minta disembuhkan. Suara yang membuat mereka tak jarang ingin terjun bebas ke dasar jurang. Suara yang menenggelamkan mereka. Ke jurang itu, ke jurang tak berdasar. Dari banyaknya cerita yang mereka lontarkan padaku, ada satu hal yang menjadi keinginan terbesar tak hanya bagi mereka tapi kurasa ini berlaku di semua orang; ingin pulih. Seperti sedia kala. Seperti halnya terlahir kembali. Pulih yang menjadi tujuan akhir dari sekian banyak derita-derita yang menyayat-nyayat tubuh. Pulih yang tak bisa didapat secara cuma-cuma. Bagi mereka, pulih adalah syarat utama agar mereka bisa terus melanjutkan hidup. Walau pulih tak bisa menjanjikan mereka untuk lupa pada segalanya; pada anak kecil yang meraung-raung pada tubuh mereka, pada sakitnya ditinggalkan, pada sesaknya merasa kesepian di tengah-tengah keramaian, pada keterasingan sebab kehilangan diri sendiri.

...dan pulih ini bisa jadi ruang untuk pelan-pelan menata diri, merasakan kembali betapa menyenangkannya 'dilihat' lagi. Menjadi manusia lagi. Menjadi diri mereka dengan versi-versi terbaik yang mereka inginkan selama ini. 


Komentar

Postingan Populer