hidup sendiri-sendiri
Ini adalah tahun kelimaku hidup di perantauan, jauh dari rumah, harus mengalami sesi pulang-pergi menggunakan kereta, merasakan sakit homesick yang obatnya adalah antara bercerita panjang lebar melalui telepon, atau pulang ke rumah. Curhatan ini aku tulis di sela-sela kerjaanku seputar skripsi. Aku melipir sebentar ke blog, menulis beberapa, sebab rasanya kepalaku dua minggu terakhir ini rasanya kayak mau pecah.
Aku nggak lagi overthinking, hanya susah tidur, baru bisa terpejam sekitar pukul 4 pagi. Benar-benar usaha merusak badan paling gampang. Setiap malam aku nggak pernah absen dari minum kopi. Kopi sachetan yang tentu sangat murah meriah ketimbang aku harus beli yang harganya bekisar 20-30 ribu. Akhir-akhir ini aku lebih banyak diam di kamar, hanya mengabari teman terdekatku kalau aku lagi ada di fase draining. Syukurnya mereka mengerti, jadi aku bisa tenang menyelami pikiranku sendiri tanpa harus di nilai malas bersosialisasi. Dan semua chat yang masuk harus aku arsipkan dulu.
Enam bulan pula aku nggak kunjung pulang ke rumah. Menempuh rute yang menghabiskan lima jam penuh di perjalanan. Tapi kami beberapa kali bertemu di lain kota, jadi rasa kangennya masih tetap terobati walaupun nggak benar-benar pulang ke rumah kayak biasanya. Pada momen tertentu, aku mensyukuri hidupku yang tampak sendiri ini. Beberapa keputusan dalam hidupku berhasil kuputuskan sendiri, tanpa ayah dan tanpa bunda, dan itu melegakan sekali. Untuk ukuranku yang selama ini merasa ketakutan dalam memilih, di hidup yang sendiri-sendiri ini aku jadi lebih menghargai prosesku ini.
Memikirkan beberapa tahun ke depan yang akan aku lalui, masa-masa pencarian kerja, atau mendaftar sekolah lagi ke jenjang s2, membangun mimpi dan hidup lain di kota perantauan lain, kadang membuatku sedih. Ini baru memikirkan saja, tapi kuyakin realitanya pasti akan melelahkan. Aku bukannya nggak suka dengan hidupku yang sekarang ini, aku justru mendambakannya sejak dulu; merangkai hidup yang aku inginkan, jauh dari rumah, mengunjungi kota-kota lain seorang diri, bertemu orang asing lalu kemudian jadi teman, bermimpi selepas ini kota mana lagi yang bisa aku tuju dengan uang simpanan yang aku punya. Aku suka dengan hidup sendiri-sendiriku ini.
Tapi yang tak bisa kubayangkan adalah, apa jadinya rumah tanpa aku dan adik lelakiku di tahun-tahun kami beranjak dewasa? Sepinya rumah bahkan sudah bisa kurasakan sejak sekarang. Meja makan yang tak seramai dulu, pilihan menu makan yang pasti nggak sebanyak dulu. Hanya ada berisik televisi yang menyiarkan film atau series yang tengah ditonton bunda atau ayah. Hanya ada mereka dan dua kucing itu, bella dan grey. Rumah di masa depan seperti sudah bisa kulihat kisi-kisinya. Sepi dan senyap.
Hidup sendiri-sendiri ketika aku beranjak dewasa ini juga melahirkan konsekuensi; yaitu lebih pemilih dan terkadang kesepian. Aku jadi punya banyak waktu untuk berkontemplasi mengenai hidup yang tengah aku jalani ini, mana yang sekiranya baik untukku, mana yang membawa resiko paling besar, mana yang bisa kuhindari mana yang tidak. Apakah aku mampu menyelesaikan masalah yang datang dalam hidupku? pada titik mana aku sebaiknya mengabari bunda ayah ketika aku menemui jalan buntu? apa yang sebaiknya kukatakan pada mereka berdua sehingga mereka tak perlu berasa cemas berlebihan? Ingin rasanya aku bilang bahwa aku selalu baik-baik saja. Bahwa aku sangat nggak apa-apa sekali dengan kesepian dan kesendirian yang aku punya sekarang. Aku mau belajar dengan caraku, karena ini adalah satu-satunya cara supaya aku bisa bertahan di badai kehidupan selanjutnya.
Hidup sendiri-sendiri adalah pilihanku. Caraku belajar bahwa menjadi dewasa tak lepas dari merasakan sepi yang kadang datang bertubi-tubi. Kalau tak pernah biasa merasakan ini, entahlah mungkin aku akan hilang ditelan bumi.


Komentar
Posting Komentar