Semi dan Duka
Ketika semua orang yang kutemui dan berhasil kulayangkan satu pertanyaan dengan singkat, butuh berhari-hari bagi mereka untuk menemukan jawaban atas pertanyaanku. Tak ada yang benar-benar jujur padaku, mereka bilang mereka butuh waktu, dan mereka bilang pula aku harus bergegas membawa pulang pertanyaanku. Sore itu, di penghujung Bulan Oktober, aku tengah duduk sembari menatap hamparan padang ilalang tempat Adam bekerja. Bagiku, ia terlalu tekun menghadapi ilalang-ilalang yang selalu tumbuh subur itu, lantas baru menemuiku ketika pekerjaannya benar-benar selesai.
Aku menatap punggungnya yang sejak tadi tak berubah, tangannya masih sibuk dengan alat tajam pemotong ilalang. Aku tak kesal, sungguh. Pernah suatu hari Adam menanyaiku pertanyaan yang tak perlu waktu lama untuk menjawabnya.
"Waktumu sedang luang sekali, ya? kenapa menungguiku selama itu di sini? Badanmu nggak gatal?" Dia duduk di sampingku, aku menatapnya sekilas kemudian beralih ke hamparan padang ilalang yang tampak lebih rendah.
"Aku suka melihatmu bekerja. Walaupun kamu kelewat serius, aku suka padang ilalang yang seperti ini, hasil potonganmu."
Adam menggeleng, mungkin baginya aku perempuan aneh yang terpaksa ia temui di bagian kehidupannya saat ini. Kami berteman sudah hampir 5 tahun, Adam yang pendiam namun suara detak jantungnya kudengar lebih berisik ketika aku memeluknya. Adam yang tak pernah menyuruhku untuk pulang dan tidur siang. Adam yang...membantuku berdiri ketika tubuhku tersungkur di hadapan gundukan tanah merah 3 tahun lalu.
Adam kini menghampiriku, peluhnya bercucuran kesana kemari, namun matanya tak terbesit lelah sama sekali.
"Sudah lama, Sem?"
Aku menggeleng, "Belum satu jam, oh, lima menit lagi."
"Besok-besok waktu luangmu kasih ke aku saja, Sem. Apa menyenangkannya sih melihatku berjongkok sambil memotong ilalang?" Adam kemudian merebahkan tubuhnya yang banjir keringat itu.
"Aku mau seperti ini bertahun-tahun lagi. Sampai kamu punya padang ilalang milikmu sendiri."
Adam menyengir, memamerkan barisan gigi rapihnya yang aku sukai.
"Hari ini tanggal 14, kamu sudah nyekar?"
Nyekar. Aku ikut berbaring di sampingnya, ia menoleh kearahku sebentar.
"Belum?" Aku mengangguk bersamaan dengan helaan nafas beratku. Seharusnya tidak lagi seberat ini. Lagipula sudah jelang 3 tahun, harusnya aku sudah bisa menjalani kegiatan nyekar ini dengan...apa? Tenang, mungkin?
"Habis ini kutemani nyekar ya, Sem. Kalau kamu bilang dari tadi kita bisa kesana lebih awal. Kesorean begini kebanyakan bunga sudah mulai layu."
"Nggak apa-apa, aku bisa kesana kapan saja."
"Kita bisa kesana sama-sama." Aku menoleh kearahnya, sedetik setelah ia mengoreksi kata aku menjadi kita. Mata kami bertemu, kedua mata milik Adam yang tenang dan dalam seperti layaknya samudera, tak pernah habis akal menyuruhku untuk tenggelam di dalamnya. Hanya mata Adam yang menjadi pelipur laraku sejak 3 tahun yang lalu hingga detik ini aku menatapnya dengan gamblang.
"Kita lewati tanggal ini sama-sama lagi ya, Sem? Nanti kita cari bunga lily putih yang masih segar. Pasti, pasti ada."
Tanggal 14, bunga lily putih, dan Adam adalah satu kesatuan yang terjalin sejak aku rutin nyekar ke gundukan tanah merah itu setiap bulannya. Ditemani Adam, ia menyediakan ruang bagiku untuk kembali meringkuk di hadapan gundukan tanah itu. Ruang di mana tempatku mengisak dalam diam, semakin dalam, dan...kelam. Tak akan ada yang bisa lari dari sepinya ditinggalkan. Tak akan ada yang bisa menyelamatkanmu dari jurang sebuah duka. Ia adalah luka menganga yang tak akan pernah bisa kau obati. Tangisku sudah tak lagi berupa air yang menganak sungai di kedua pipiku, melainkan sebuah sesak yang menyuruh sesuatu di dalam sana untuk berhenti berdetak.
...di setiap tanggal 14, aku mengharapkan gundukan tanah merahku sendiri.
"Menurutmu, Dam, mereka yang di dalam sana ikut berduka nggak?" Adam menaruh pemotong ilalang itu, kudengar ia mengatur napasnya sepelan dan serapih mungkin.
"Ditinggal dan meninggalkan punya konsekuensi yang sama. Mereka berdua itu satu tubuh, Sem. Kalau kamu merasa kesakitan, mereka yang di dalam sana juga ikut merasakan hal yang sama. Adil, Sem."
"Kalau aku pergi, ikut sama mereka yang di dalam sana, kamu sedih nggak, Dam?" Adam terdiam. Aku melanjutkan perkataanku.
"Kalau hidup begini terus, aku bakal kesakitan seumur hidup, Dam. Aku nggak tega lihat kamu menyaksikan tangisanku setiap kali kita nyekar. Aku malu harus meraih tangan kamu lagi dan lagi, Dam. Sedih ini sudah seharusnya jadi milik aku, bukan kamu,"
Aku berhenti sejenak, mengambil jeda dua hela napas, "Kalau nanti aku pergi, kamu akan apa, Dam?"
Mata laki-laki itu terpejam, aku menunggunya bersuara. Di tengah-tengah hamparan padang ilalang yang baru saja dipangkas, aku melayangkan pertanyaan yang selama ini tak pernah bisa dijawab oleh siapapun. Pertanyaan yang bagi mereka butuh waktu berhari-hari untuk menjawabnya. Maka kali ini harapanku hanya Adam, laki-laki yang selalu murah hati, laki-laki yang selalu tepat menjawab semua pertanyaanku, laki-laki yang kusertakan jadi pelipur laraku diatas duka yang tak pernah usai ini. Laki-laki yang ingin sekali kulihat terbebas dari kesedihan yang kuselipkan di hidupnya selama 3 tahun ini.
"Aku akan menerima. Menerima kepergianmu, menerima hari-hari yang akan kulewati di padang ilalang ini sendirian. Karena dengan itu aku bisa terus melanjutkan hidupku walau tanpa kamu, Semi."
Hanya Adam. Hanya ia yang mampu menjawab pertanyaanku tanpa meminta penambahan waktu. Hanya Adam satu-satunya orang yang kuberi hadiah sebuah pelukan karena berhasil menjawab pertanyaan itu walau tanpa menatapku. Aku masih memeluknya, mencuri sisa-sisa dari tubuh laki-laki itu yang bisa kubawa pulang. Aku tak tahu apakah aku masih akan tetap ingat seperti apa aromanya, namun yang jelas perasaan yang kusebut cinta ini akan selalu beralamatkan Adam.
Tanggal 14 Februari adalah hari di mana bagi sebagian orang yang mempercayainya dianggap sebagai hari penuh kasih sayang. Penuh dengan gelak tawa, pelukan, keping-keping cokelat atau bahkan bertangkai-tangkai bunga. Padahal bagiku dan perempuan itu buat apa menetapkan satu hari jika kita bisa mengasihi dan menyayangi setiap hari? Aku menggengam bunga lily putih di tanganku, bunga yang kuhadiahi untuk perempuan itu yang sengaja memilih tanggal ini sebagai hari kepergiannya. Entah apa maksudnya menyuruhku berduka di saat semua orang justru menebarkan cinta sepenuh-penuhnya?
Selepas hujan, di hadapan gundukan tanah merah yang masih basah itu, aku mempertanyakan jawabanku yang kulontarkan padanya dulu. Perempuan itu benar-benar pergi, Semi sempurna berubah menjadi duka yang tak akan pernah bisa kuterima. Semi sempurna berubah wujud menjadi kenangan padang ilalangku. Kepada Semi kuluruhkan seluruh gemuruhku yang memintanya untuk kembali; Semi yang menyenangkan, Semi yang hangat, Semi yang kusaksikan tubuhnya remuk setiap kali kami nyekar.
Saat ini, di sisa-sisa Semi yang menguar dari balik gundukan tanah merah itu, aku menerima kepergiannya.


Komentar
Posting Komentar