#1 Memulai kembali

          

            Setiap tubuh, setiap yang hidup, hakikatnya adalah selalu mencari dan kini aku mencari sisa-sisa kehidupan dalam diriku sendiri dengan mengambil keberanian mengarungi benua lain dan pergi jauh dari rumahku, tempat tinggalku. Di kepalaku kini hanyalah bagaimana caranya agar aku bisa meninggalkan semua gumul perasaan di sana dan memulai semuanya dengan yang baru. Sebab, apa gunanya aku terbang dua puluh jam penuh ke negara ini sedang aku masih membawanya bersama koper-koper raksasaku?

            Aku tiba di London, masih terjebak di sebuah kedai kopi kecil sekitaran Heathrow, memesan flat white dan sengaja memilih tempat duduk paling ujung serta dengan pemandangan mengarah ke jendela luar. Kebiasaanku sejak dulu, melipir sejenak untuk duduk, minum kopi, dan menulis sebuah surat. Aku menggesek-gesekkan kedua tanganku agar hangat, kebiasaanku berikutnya adalah melupakan detail yang penting...sarung tangan hangat. London, sejak tadi tak henti-henti menabrakkan udara dingin mencekamnya padaku. 

         "Rea? Flat white?" Aku tersenyum tipis dan mengangukkan kepalaku, secangkir flat white dan sebungkus heat pack dan notes tertempel diatasnya. Aku menoleh dan kudapati dia tersenyum, "I thought you were cold, so yeah i gave you that heat pack. Welcome to London, Rea!" Mataku menghangat, kebiasaanku ketiga adalah terlalu mudah terharu, dengan cepat aku mencari namanya yang bisa saja tertera di baju kerjanya atau di apron yang tengah ia pakai. Itu dia, Klark.

         "Thanks a lot...Klark!" Aku tersenyum, dia balas tersenyum dan sudah saatnya aku kembali ke mejaku dan meneruskan apa yang harusnya kulakukan. 

            Seperti yang sudah kuberitahukan, bahwa menulis surat adalah kebiasaanku. Pergi dari satu tempat ke tempat lain, menempuh perjalanan udara dan melintasi berbagai perairan, samudera, bahkan benua, seperti aku ingin menyampaikan bahwa aku tiba dengan baik dan aman. Atau memberitahukan segelintir orang bahwa saat ini, saat aku menulis surat ini, aku akan memulai kehidupanku yang baru, ada atau tanpa segelintir orang itu, aku tetap menjalani hidupku seorang diri. 

 

London, 2 Maret 2023.


Saat kubilang aku ingin lepas dan bebas, aku berkata jujur padamu. Tapi yang kamu pikirkan adalah kamu takut aku menjadi pecandu alkohol, menerjang apapun tanpa takut sebab kamu tahu, dulu dalam hubungan itu, aku tak pernah takut apapun. Yang ada dipikiran konyolmu adalah aku bepergian dari satu night club ke night club lainnya, seizinmu atau tidak, diam-diam aku menggerakkan kakiku ke sana. Mencari ramai, mencuri berisik di sana, dan pulang masih dengan mata yang tenang sebab aku tak pernah meninggalkan jejak apapun.

Di, lepas dan bebas bagiku adalah terbang kemanapun aku inginkan, tanpa bantuanmu, tanpa siapapun mengenaliku, aku memulai semuanya lagi, dari awal. Termasuk niatku untuk tak berpamitan padamu, sebab kita sudah lama berpisah di ujung jalan itu, aku memilih melanjutkan perjalanan dan kamu...memilih memutar balik. 

Di, lepas dan bebas adalah upayaku mengembalikan kehidupanku yang sudah lama hilang nyawanya. Sekarang aku sudah tiba di London, kota dengan julukan cuaca tak menentu ini seperti halnya aku tengah berhadapan denganmu. Sejauh apapun aku pergi, yang serupa denganmu masih saja terbawa olehku. 

Flat white-ku sudah habis, kuselesaikan tulisan ini di sini. Aku tak sabar memulai kehidupan baruku di kota ini, kuharap kamupun begitu. Memulai atau melanjutkan apapun yang tengah terjadi di hidupmu, tapi, Di...jangan lagi ada putar balik. Seperti dulu, seperti yang pernah kamu lakukan.


Di, aku tak akan pernah bisa menjelajahi isi pikiranmu, oleh karenanya kubebaskan semuanya dengan cara melepaskanmu.

 

...untuk diriku yang baru tanpa seorang Swardi Bayu; 

Rea Kasandra.

 

***

 

            Mataku berbinar, ini sungguhan binar, binar haru menyenangkan. Aku memperhatikan deretan bangunan yang bersinggungan dengan tempat tinggalku, desainnya yang klasik dengan fasad bangunan yang mirip-mirip menjadikannya lebih rapih dan enak dipandang. Aku menyewa sebuah flat yang kutemukan dengan harga lumayan ramah dikantong, hasil pencarianku berminggu-minggu menyelami website demi website penyewaan flat di London dan voila! kutemukan ia berada tepat di Westminster, di jantung Kota London. Flatku berada di lantai tiga, di sebuah bangunan tepat di ujung jalan ini. Kugeret koper raksasaku di sepanjang Old Pye Street dengan napas yang tersengal-sengal, di tengah serbuan udara dingin, minus sepuluh, dan perut yang mulai kelaparan. 

            "Hi, I'm Rea Kasandra," Aku bertemu seseorang yang bertugas mengurusi bangunan ini, lelaki paruh baya, "Aku penyewa baru di flat lantai 3, ini dokumen lengkapnya, sudah ku e-mail beberapa hari yang lalu, dan ini untuk berjaga-jaga, in case it needed." 

            "Welcome to London, Rea. I'm George. Kamu datang dari Indonesia ya? sungguh perjalanan yang sangat jauh. Kamu pasti kelelahan, seluruh dokumen penyewaanmu sudah kuterima, ini kuncimu. Jika ada hal yang ingin kamu tanyakan, kamu bisa menghubungiku ke nomor yang ini, oke? Have a good rest, Rea!" Sungguh matanya menyiratkan kehangatan, sudah dua orang hari ini yang menyambut kedatanganku, Klark dan George. London detik ini berkenan menyelipkan hangat di tengah kemelut udara musim dinginnya yang membuatku ingin pingsan. Well, aku hanya butuh minum tolak angin dan teh manis panas. 

            "Thanks George, I would definitely need your help...for everything..." Dia tertawa, aku mengikutinya. Tawa khas bapak-bapak tua, "Panggil saja aku Georgie, semua orang di flat ini memanggilku begitu. Selamat istirahat." Georgie pergi entah ke mana dan aku bergegas menuju kamarku. 

            Lagu pertama yang kuputar sembari membereskan seluruh isi koperku adalah Without Me-nya Rayland Baxter. Sungguh lagu yang menyedihkan, harusnya deretan lagu penyemangat sebagai upaya menyambut kehidupan baruku di sebuah flat berukuran 15x30 meter persegi ini, tapi justru lagu ini yang kuputar pertama kali. "...Do you remember yesterday? Did the conversation we had about life just float away?" Aku terdiam ketika lirik lagu tersebut bagai kisah lama yang memunculkan sosok Ardi, rasanya seperti baru kemarin, hidupku dan hidupnya, mimpiku dan mimpi-mimpinya bertaburan dan menari jadi satu. "...You wanted me to hang around and now I'm losing mine." Aku membaringkan tubuhku di lantai, menatap lurus langit-langit kamar yang tak jauh berbeda dengan kamarku di Jakarta. "...A thousand days and you'll be doing fine, Without Me..." selepas kata terakhir terdengar, yang kudengar selanjutnya adalah isak tangisku sendiri. Hidupku tanpanya atau hidupnya tanpaku harusnya bisa baik-baik saja, kehidupan terus berlanjut dan sosoknya adalah serpihan masa depan yang terpaksa harus kukubur jauh sebelum kepindahanku kemari. 

            Malam pertama di London, isi koper yang belum seluruhnya tuntas, dan dingin yang semakin menyeruak ganas, aku justru memulainya dengan tangisan. Tangisan selamat tinggal. 

 

***

Komentar

Postingan Populer