(bukan) Gala bunga matahari



"Kalian bisa hadir menjadi apapun, tak harus jadi bunga matahari."

Beberapa miggu lalu, aku kira lagu Sal yang berjudul Gala bunga matahari itu tentang lucu-lucuan. Kelucuan yang manis; telingamu dibuat sibuk meraba-raba melodinya, maksudnya, isi kepala penciptanya. Aku tenggelam dalam asumsi lucuku terhadap Sal. Lalu menyadari bahwa aku sudah kalah telak. 

Pemilihan Bunga matahari menjadi gambaran kontras antara isi dan judul. Aku kira Sal akan bercerita tentang bunga-bunga di taman, atau seorang kekasih yang menyukai bunga itu. Bunga Matahari — wujudnya terlalu terang, bahagia, dan gembira. Seterang matahari yang sanggup menyinari se-Alam Raya. Oh, mungkin itu maksudnya. Di gelapnya dunia orang-orang yang ditinggalkan, kejadirannya suatu saat, bisa menyinari ruang yang kosong itu, walau hanya sesaat.

Sal selalu pandai dan apik. Dia pencerita yang tak segan merobek-robek semua luka yang kita tutup diam-diam. Lagu ini — yang kukira lucu itu — adalah keinginan terdalam orang-orang yang berhadapan dengan kepergian. Ketidaksanggupan kita dalam melerai duka. Sebuah raga yang masih tertinggal di waktu itu. Kenangan yang berhenti saat ia sudah tiada.

Lagu ini, sialnya, membangkitkan kerinduan untuk ia yang sudah pergi lebih dulu.

Aku tidak lagi menangis. Apalagi sejak kakek dan nenek tidak lagi sowan ke mimpiku. Kupikir mereka hanya sudah bosan mengunjungiku. Kurasa, mereka menganggapku sudah pulih dari rasa itu. Padahal nyatanya, bertahun-tahun pasca ditinggalkan, aku mengamuk habis-habisan. Di dalam hatiku. Di dalam ruang yang mendadak kosong itu. Aku menangis seperti orang gila. Aku ini ditinggalkan, dan duniaku berhenti saat itu juga.

Bagi sebagian orang, berduka itu bukan fase. Tidak ada rentang waktunya. Tidak ada yang tahu pasti kapan benar-benar selesai. Duka menyelinap di balik bantalmu. Ia menjelma bagai mimpi panjang tak berkesudahan. Ia tahu kapan waktu yang tepat untuk membuatmu tersedu-sedu di depan makanan kesukaanmu.

Berduka ini tak ada habisnya. Iya, kan?

“Mungkinkah…mungkinkah…mungkinkah, kau mampir hari ini? bila tidak mirip kau, jadilah bunga matahari…”

Sal, lagumu ini gila. Aku dibuat marah, kangen, dan tersenyum di satu waktu. Aku kangen mereka. Kakek Nenek yang baik hatinya itu. Kalau aku minta mereka jadi bunga matahari, mereka pasti gak akan mau. Atau ikan aja? soalnya kakek nenek punya empang yang besar dan luas di depan rumah. Apa udang? udang segar yang manis-manis itu. Atau apapun yang kalian mau. Aku cuma mau…kalian datang ke tidurku malam ini. Bisa ya?

Sebuah permintaan konyol yang kuinginkan lagi setelah bertahun tahun tidak kulakukan. Aku selalu merasa apa hanya aku yang berduka terlalu lama? Kulihat Ibu sudah baik-baik saja. Ibu tak pernah bilang kangen. Tak pernah kulihat matanya berkaca-kaca lagi. Tak tampak bibirnya yang bergetar mengucap nama mereka. Atau ibu sudah menerima sedang aku tidak, ya? Kutahu hatinya lebih perih. Kutahu tenggorokannya tercekat tiap kali memanjat do’a. Kutahu, ibu pun sama. Tapi cara kami merawat duka berbeda.

Kuharap, kamu bisa merawat sekotak penuh tentang ia yang sudah pergi itu dengan hati yang lebih luas. Supaya kamu bisa punya banyak tempat untuk meluapkan sedih, kerinduan, dan kesalmu. Kamu bisa menjerit sepuasmu sampai suaramu serak. Kamu boleh menyanyikan lagu Sal sekeras dan sesering mungkin.

Oh, Sal. Bisa saja lagumu ini adalah obat bagi hati kita semua. Makasih banyak ya, lagumu membantuku merawat ingatan tentang mereka lagi. Aku gak mau terburu-buru menyudahi duka ini.

“Kakek, nenek, kalian bisa jadi apapun. Tapi janji ya, mampir dulu malam ini?”

Komentar

Postingan Populer