Ibu, duniaku bergerak lambat, maukah engkau merengkuhku?
Ibu, ibu, ibu.
Ajaib betul firman Allah. Tiga kali nama ibu disebut. Sebanyak itu sehingga ia tak lekang oleh waktu dan zaman. Tak pernah terlintas di kepalaku sebuah kehidupan tanpa seorang ibu. Tanpa peluknya, kecupnya, dan celotehannya di sela-sela waktu menonton kami. Untung ada ibu, aku nggak perlu menyerah secepat itu.
Hari-hari yang kujalani terasa amat lambat. Amat panjang. Dan melelahkan. Bukan lelah secara harfiah, melainkan lelah karena harus menyakiti hati ibu. Ia pasti sedih harus menyaksikanku lulus terakhir dari universitas. Ia pasti bertanya-tanya mengapa aku tak lagi seambisi dulu. Ia pasti menyalahkan diri karena bukan jadi ibu yang baik. Di sela-sela menyelesaikan tugas akhirku kemarin, aku rindu ibu. Lalu aku menangis sejadi-jadinya karena hidup serba terlambat.
Ibu menyaksikan aku bertumbuh dalam gelembung yang selama ini aku tinggali. Hidup sekenanya, tanpa ambisi, tanpa cita-cita masa kecil yang menggebu-gebu. Tanpa keinginan mencari cahaya yang lain. Ibu melihatku meredup. Perlahan lahan, kumatikan satu demi satu lampu dalam duniaku. Kadang kudengar isak kecilnya di atas sajadah. Aku cuma bisa...menyerahkan kegelisahan ini pada Yang Maha Menyembuhkan. Agar lukaku dan luka ibuku segera mereda.
Ibu menemaniku hingga garis terakhir. Matanya menyiratkan bangga. Bibirnya membuat lengkung dalam dan lama. Tubuhnya menguarkan aroma hangat yang selalu kurindukan. Aku selesai. Memecahkan satu gelembung itu. Keluar dari belenggu yang selama ini menahan tubuhku. Semua ini berkat ibu. ibu. dan ibu.
Bu, kusaksikan duniaku bergerak lambat, maukah engkau merengkuhku lagi dan lagi?


Komentar
Posting Komentar