Kepada siapa maaf ini seharusnya dituju?


 

Kini aku menyadari bahwa kata maaf layaknya barang obral yang siap ditawar hingga harga terendah. Beragam kata maaf bisa ditemui dalam berbagai bentuk; besar atau kecil, tulus atau pura-pura. Orang bisa saja mengumbar maaf supaya semua perkara-perkara rumit ini cepat selesai. Lagipula siapa yang hendak berlama-lama berkonflik? Nggak ada. Semua orang bahkan termasuk aku begitu mudah bilang maaf hanya karena ia secuil kata dengan empat huruf. Kecil dan terlihat mudah. Pantas ia dihargai murah dan tak meninggalkan kesan apa-apa. 

Aku masih mengingat seseorang menulis menyoal ini di Tumblr. Dia mencoba mengurai maaf dari sudut yang gelap. Seperti ia tahu bahwa tak semua orang mempunyai keberanian untuk memilih. Memaafkan itu seharusnya persoalan pilihan. Memilih memaafkan atau tidak adalah pilihan. Ia seharusnya lahir karena keinginan diri sendiri. Tulus dan putih. Tenang serta penuh. Melalui tulisannya, aku seperti diajari untuk berpegang pada diriku sendiri. Dia menyuruhku bersiap-siap. Untuk segala bentuk maaf yang diterima dan diberi; mereka harus bebas dari keterpaksaan. 

Aku menelusuri tiap barisnya, ada pesan lain yang mau dia sampaikan. Begitu jelas namun tak semua orang bisa mengerti atau memilih tidak mau mengerti. Memaafkan adalah perjalanan panjang (dan spiritualitas) seseorang untuk mencari tenang.  Mereka tak bisa menentukan kapan kita bisa memberi maaf. Mereka tak akan pernah tahu gejolak diri setiap kali ia tersakiti. Memaafkan (bagiku) tak pernah mudah. Ia rumit dan sulit. Mengikat egoisme yang mencuat dalam hati. Mereka (sekali lagi) tak akan pernah tahu bahwa ada harga yang mahal untuk sebuah maaf. Proses ini tak bisa diacak-acak hanya karena kita sesama manusia. Lucunya, kalau memang manusia, kenapa harus saling menyakiti dan meminta maaf terus-menerus? 

Sewaktu kecil kita dipaksa untuk memberi maaf kepada siapapun. Mereka bilang memaafkan itu buat hati tenang. Mereka juga bilang kalau memaafkan lebih dulu pahalanya akan berlipat ganda. Di atas hati yang sakit atas perbuatan orang lain, memaafkan digadang-gadang sebagai obat yang mampu menyembuhkan. Bagian ini aku termenung, mengiyakan dengan penuh. Maklum, aku masih belum tahu apa-apa. 

Kini, kurasa kita punya kuasa sendiri untuk memilih. Seperti aku boleh memaafkan jika aku membutuhkannya. Aku boleh tidak memaafkan ketika aku ingin mengingat lebih lama sehingga dengan ini aku tak menyakiti orang lain. Aku boleh tidak memaafkan sebab aku mau ia jadi pelajaran untuk mereka-yang-menyakitiku bahwa ada harga untuk sebuah maaf. Kuharap kamu punya hak untuk memilih apa-apa yang kamu ingin. Kuharap tak ada yang memaksamu untuk memafkan orang dengan segera.  



Komentar

Postingan Populer