meraba dunia baru



Pada sepetak kamar berukuran 3x2 meter persegi, dibalut remang cahaya lampu, pikiranku beranjak dari satu masa ke masa berikutnya. Bersolek dan berpura-pura menjadi siapa dan siapa, seperti seorang wanita karir dengan ambisi berapi-api, atau pekerja lepas berpegang idealisme, atau pekerjaan yang selalu diakhirkan oleh masyarakat kita sendiri, menjadi ibu rumah tangga. Khayalanku bagai series film yang selalu kutunggu bagaimana cuplikan selanjutnya. Walau terkadang aku tak suka.

Aku belum bekerja, belum siap. Dan entah sedang menyiapkan apa sebetulnya. Aku memiliki pekerjaan lain, yaitu meraba. Aku ini sedang meraba dunia baruku. Sedikit megap-megap karena aku lupa cara bernapas. Lalu seorang teman dengan ketulusannya meraih tanganku. Kebaikan mana yang membawaku padanya, pada sosoknya? Oh, Tuhan. Terima kasih!

Upaya-upayaku meraba sekitar ini memunculkan banyak hal. Lebih kepada banyak pemikiran baru. Aku seperti lega sekaligus kalut. Beragam pertanyaan hilir mudik ke kepala seperti mau pecah saja. 

"Apa aku sanggup?"

"Aku harus berjalan atau berlari?"

"Berhenti di sini saja apa tidak apa-apa?"

Semua keganjalan itu menumpuk menjadi bulir-bulir air mata dan sesak yang memenuhi dada. Aku mengalami fase ini lagi setelah fase menulis skripsi yang memuakkan itu (oh tapi justru aku merindukan tensi mengerjakannya!). Aneh betul hidup ini. Aku harus selalu siap. Sedia. Tanpa takut. 

Kupikir berulang kalipun ini tetap tidak benar. Tak apa meraba-raba. Selalu ada yang pertama kali dalam hidup. Selalu ada kegagalan-kegagalan kecil yang menjadi api semangat di kemudian hari. Selalu ada takut yang menggelayut dalam setiap gerak. Lantas, aku ingin melakukannya dengan segala ketakutanku, ketidaktahuanku, dan ke-akuan-ku yang lain. Mungkin ada kala dunia ini menjebakku dengan skenario lucu. Seperti aku harus tertawa dan menangis di satu waktu, lalu bergegas lagi. 

Aku yakin, ini tak hanya aku. Tapi toh buat apa membandingkan. Waktuku tak banyak untuk itu, lebih baik menjadi teman dan menyemangati satu sama lain. Bahwa fase meraba dunia baru ini adalah pemakluman paling baik untuk mempersiapkan diri melanglang buana di luasnya dunia ini. 

Tak apa kalah, kita coba lagi esok!





Komentar

Postingan Populer