Membaca sebagai upaya menyelamatkan diri

 


Tumpukan buku-buku di lemari rumah adalah saksi bisu masa-masa tumbuh dan dewasaku. Sejak kecil, sebelum tidur, kubawa satu judul untuk dihabiskan hingga mataku tak lagi sanggup terbuka. Setiap judul mencerminkan umurku, mengingatkan bahwa ia menyertai hidupku sejak dulu hingga sekarang. Kelekatanku pada buku memberikan cahaya baru pada remang setiap jalan yang kulalui.

Membaca buku adalah ikhtiarku yang benar-benar. Semua orang bilang bahwa membaca adalah jendela dunia. Ia membawamu ke banyak tempat tanpa harus benar-benar hadir secara fisik. Membaca agar pintar, agar baik hidupmu. Tak ada yang salah, tapi bagiku, membaca buku, adalah upayaku untuk menyelamatkan diri.

...dari kebisingan ibukota, riuh-rendah pikiranku, ketidaktahuan yang akan menyesatkanku kelak di kemudian hari, dan diriku sendiri. Aku menyelamatkan diri, dan buku adalah tempatku pergi. Ia membiarkanku menjadi tokoh utama, dengan nama yang baru, mengambil latar dari New York, Westminster, hingga Sumba. Mengalami konflik-konflik berdasarkan kegilaan penulisnya. Betapa ia piawai, anggun, namun menabrak sana-sini. Aku mencintai buku-bukuku, karena ia selalu menyelamatkanku.

Saat bising hadir, membaca meredam riaknya. Ajaib ya? Mungkin ini alasan mengapa tangan penulis itu adalah obat. Setiap kata adalah doa, agar tenang, sejenak lupa, dan meredam pilu. 

Lantas, membacalah. Apa saja. Mungkin ia bisa saja jadi obat untukmu. Sebab bagiku, membaca berhasil menyelamatkanku. Dari apapun, bahkan dari diriku sendiri.  

Komentar

Postingan Populer